Cerita Mahasiswa Undip Selamat dari Tsunami Selat Sunda, Berlindung di Mushola
Saat berada di dalam mushola, muncul gelombang pasang kedua, disertai suara gemuruh. Gelombang kedua tersebut lebih tinggi lagi
Penulis: deni setiawan | Editor: m nur huda
Saat berada di dalam mushola, muncul gelombang pasang kedua, disertai suara gemuruh. Gelombang kedua tersebut lebih tinggi lagi hingga mampu menghempaskan kaca jendela maupun pintu rumah penduduk.
Laporan Wartawan Tribun Jateng, Deni Setiawan
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Empat dari sekitar 25 mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) Semarang telah tiba di kampus, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Undip Kampus Tembalang Kota Semarang, Rabu (26/12/2018) siang.
Mereka merupakan kloter terakhir dalam proses pemulangan yang dilakukan pimpinan Undip terhadap seluruh mahasiswa, alumni, maupun dosen yang sebelumnya terjebak atau menjadi korban terdampak peristiwa gelombang pasang tsunami Selat Sunda pada Sabtu (22/12/2018) petang.
“Totalnya ada sekitar 30 orang. 25 orang adalah mahasiswa Undip, 4 orang alumni Undip, dan 1 dosen pendamping. Mereka terbagi menjadi dua tim ekspedisi, yakni Tim Ekspedisi Dwipantara UKSA 387 Undip dan Ekspedisi Thalassina UKM Sea Crest FPIK Undip,” kata dosen FPIK Undip Ir Ita Riniatsih.
Adapun dalam kloter terakhir dimana pada Rabu (26/12/2018) sekitar pukul 07.45 tiba di Bandara Internasional Ahmad Yani Semarang dan dijemput beberapa pimpinan fakultas itu adalah Muhammad Ramadhan, Dinda Ayu Octaviana (Departemen Oseanografi FPIK).
Sebelumnya, mereka Pulau Legundi Kecamatan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung, untuk menjalankan visi lingkungan yakni menjadikan pulau tersebut sebagai tempat wisata bahari di Lampung.
“Lalu Defi Puspitasari, dan Reinicha Agni Puspitarini (Departemen Ilmu Kelautan). Kedua tim menjalankan program tersebut secara mandiri. Dimana program ekspedisi itu adalah program rutin tahunan yang selenggarakan kedua UKM,” tuturnya.
Dalam obrolan santai bersama Tribunjateng.com, Rabu (26/12/2018), Ramadhan, mahasiswa asal Bekasi Jawa Barat itu bercerita atas pengalaman berharga yang dialaminya.
Bagaimana dia bersama rekan-rekannya berjuang menyelamatkan diri dari terjangan gelombang pasang tsunami pada Sabtu petang itu.
“Sabtu (22/12/2018) pukul 21.00, kami baru saja menyelesaikan breafing atau rapat koordinasi besar (dua tim) di kediaman kepala desa setempat. Setelah itu, masing-masing tim laksanakan breafing lanjutan,” terang mahasiswa Departemen Oseonografi FPIK Undip itu.
Dia bersama sekitar 15 rekan Tim USKA Undip bergeser ke tepian dermaga pulau tersebut. Breafing baru berlangsung sekitar 15 menit atau sekitar pukul 21.30, terdengar suara gemuruh dari arah laut.
“Melihat gejala yang aneh tersebut, seluruhnya bersiap-siap mengemas barang-barang. Warga setempat yang sedang berada di lokasi sekitar dermaga pun berteriak untuk segera menyingkir, mencari tempat yang jauh dari bibir pantai,” kata Ramadhan.
Ramadhan bercerita, awalnya mereka mengira apabila itu sekadar gelombang air pasang laut biasa. Tetapi yang dinilai janggal, air di tepian pantai mengalami surut, dimana mereka khawatir itu adalah tanda-tanda tsunami.
“Kami berlari untuk cari lokasi aman. Saat gelombang pasang pertama tidak terlalu tinggi hanya setinggi sekitar setengah badan atau sekitar 70 sentimeter di daratan. Posisi saat itu kami sedang berlari menuju arah rumah penduduk. Tak lama berselang, air laut kembali surut,” terangnya.