Pelantikan Gubernur Jateng
Ganjar: Tak ada Tempat bagi yang Lambat
Berikut wawancara Tribun Jateng dengan Ganjar Pranowo.
SEJAK masa kampanye Pemilihan Gubernur (Pilgub), Ganjar Pranowo, selalu meyodorkan gagasan reformasi birokrasi sebagai kredo utama pemerintahannya. Dalam berbagai kesempatan, dia menyatakan, para pejabat dan jajaran birokrat harus menjadi babu atau pelayan bagi rakyat.
Langkah-langkah cepat macam apakah yang akan diambilnya untuk merealisasikan reformasi birokrasi? Bagaimana Ganjar menjawab ekspektasi masyarakat Jateng yang demikian tinggi terhadap pemerintahannya? Berikut wawancara Tribun Jateng dengan Ganjar Pranowo.
Pernyataan Anda bahwa pejabat adalah babu kabarnya menuai resistensi di kalangan pejabat Pemprov. Apa tanggapan Anda?
Apakah ada yang salah dengan pernyataan saya? Bukankah pejabat memang seharusnya menjadi melayani rakyat dengan sebaik-baiknya?
Siapa pun yang menjadi pejabat, memang harus siap menjadi pelayan. Pelayan itu ya sama saja dengan bedinde, babu. Bukan sebaliknya, minta dilayani. Mau masuk mobil saja, minta dibukakan pintu. Bagi saya, tidak ada tempat bagi pejabat yang tidak mau menjadi pelayan bagi masyarakat.
Memang, saya mendengar kabar bahwa ada yang merasa tidak nyaman dengan pernyataan saya itu. "Ya, jangan terlalu keras seperti itu lah, Mas," ada yang bilang begitu. Tapi bagi saya, yang penting esensinya, setiap pejabat harus melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya. Jajaran kepolisian saja berani memasang slogan melayani masyarakat, masak Pemprov Jateng tidak berani?
Apa upaya yang Anda tempuh untuk mewujudkan "pejabat adalah babu bagi rakyat" itu?
Hal yang terpenting dari konsep itu adalah quick response, respons yang cepat. Menurut saya, kecepatan seorang pejabat dalam menanggapi persoalan dan kemudian menyelesaikannya bisa diukur.
Di sisi lain, birokrasi yang melayani akan terwujud jika terpenuhi dua hal: pucuk pimpinannya memberi contoh dan mau menunggui. Saya akan berupaya untuk memenuhi kedua hal itu. Saya siap memberikan contoh sekaligus menunggui supaya para pejabat di lingkungan Pemprov bisa mewujudkan sosok birokrasi yang melayani.
Jika mau menjadikan Provinsi Jateng ini menjadi lebih baik, mau tidak mau, leadernya harus memberi contoh. Misalnya, tidak hidup bermewah-mewahan. Jauh-jauh hari saya sudah sampaikan, kalau memang harus pengadaan mobil dinas baru, bagi saya cukup Kijang.
Tak perlu membeli mobil dinas baru yang berharga miliaran rupiah. Anggaran yang dihemat, bisa dialokasikan untuk hal lain. Jika masih bisa memakai mobil dinas gubernur yang lama, malah lebih hemat lagi, karena tidak perlu melakukan pengadaan baru.
Nah, sekarang saya tanya, kira-kira rakyat lebih senang pejabat memakai mobil mewah atau mobil sederhana. Kalau gubernur, wakil gubernur, dan sekda menggunakan mobil sederhana, saya kira yang lain akan menyesuiakan. Jika masih ada pejabat yang mengeluh, ya rasakna ketemu gubernur kaya aku.
Anda yakin, jajaran birokrasi di Pemprov Jateng bisa mengikuti perubahan itu?
Saya sadar betul reformasi birokrasi ini bakal menuai banyak protes. Terutama untuk birokrat yang hanya mau dilayani masyarakat dan dibukakan pintu mobilnya.
Protes ini bagian dari wajar, karena adanya arus yang berubah dari kebiasaan. Tapi ini harus dimulai, dan birokrat juga harus merespons cepat.
Penyesuaian inilah, yang diperkirakan nantinya akan menimbulkan resistensi. Namun, saya mempersilahkan untuk birokrat mundur bila ternyata tidak mampu melaksanakan tugas yang diberikan.
Namun, adanya reformasi birokrasi ini yang terutama pemimpinnya mau menunggui proses untuk menyeleksi birokratnya. Saya punya kewenangan, kalau mereka tidak responsif.
Jika ternyata seret?
Menurut saya, tidak perlu terburu-buru melakukan perubahan frontal. Copot sana copot sini. Saya memang telah memperoleh masukan dari sejumlah pihak mengenai kondisi Pemprov. Tapi saya pastikan, saya tidak akan membuat gempa atau tsunami birokrasi.
Langkah pertama yang akan saya ambil melakukan pemetaan atas kondisi existing para pejabat kita sekarang. Langkah itu untuk mengetahui tepat tidaknya mereka yang saat ini menjabat dengan kemampuan, keterampilan, serta kompetensinya.
Sesudah itu, saya akan melakukan re-assesment atau evaluasi ulang, yang dimulai dari para birokrat yang saat ini tengah menjabat. Upaya itu dilakukan untuk mengetahui knowledge, skill, dan attitude. Pengetahuan, keterampilan, dan juga kebiasaan.
Mereka yang sudah tepat pada posisinya, sesuai kemampuan dan kompetensinya, bisa saja dipertahankan. Yang belum, bisa dilakukan upaya peningkatan kapasitas mereka.
Untuk pengisian posisi-posisi yang memang diperlukan, bisa melalui langkah talent scouting. Saya akan meminta bantuan profesional untuk mencari dan menyeleksi bakat-bakat terbaik. Sesudah diseleksi, pada tahap akhir tentu menjadi hak end user-nya, yaitu gubernur. Setelah proses seleksi yang berlangsung dengan pertimbangan-pertimbangan objektif, pada tahap akhir saya bisa memilih dengan pertimbangan subjektivitas saya.
Saya yakin saya bisa independen untuk melakukan ini karena tidak memiliki kedekatan khusus terhadap birokrat di Jawa Tengah.
Selain dari sisi SDM, bagaimana implementasi reformasi birokrasi dalam kelembagaan Pemprov?
Dari sisi kelembagaan dari reformasi birokrasi ini menjadi responsif terhadap masyarakat. Semuanya, kembali untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Secara teknis ini saya ingin semuanya nanti akan berbasis IT (information technology).
Tidak perlu jauh-jauh harus rapat dengan kabupaten/kota yang lokasinya berada jauh di Semarang. Misalnya, bupati Cilacap tak perlu datang ke Semarang, cukup mengikuti rapat dari kantornya. Cukup lewat teleconference atau video call.
Saya akan membuka rapat, lalu saya tanya, persoalan yang muncul di tiap-tiap daerah. Lantas para bupati/wali kota bisa menyampaikan persoalannya. Kalau perlu penyelesaian cepat.
"Sekarang Sampean atasi dulu, misalnya perlu dana pakai dana Pemkab/Pemkot dulu, karena persoalan harus diatasi secepat mungkin. Nanti saya akan meluncur atau kirim tim untuk membantu penyelesaiannya." Begitu kan enak?
Kalau memang diperlukan, saya tidak akan segan sowan kepada para bupati atau wali kota. Saya yang akan datang. Tidak apa-apa to, kalau Gubernur yang sowan bupati.
Nah, sambil menyelam minum air, saya ingin setiap berkunjung ke daerah-daerah bisa sekaligus mendatangi sekolah. Saya ingin membuat Gubernur Mengajar, datang ke sekolah, masuk kelas, bertemu dengan para siswa untuk berbagi pengetahuan atau pengalaman.
Bagaimana bisa mewujudkan birokrasi yang berbasis IT itu?
Langkah yang sederhana, tapi saya kira penting, adalah membiasakan para pejabat untuk akrab dengan teknologi informasi. Masak saya dengar ada pejabat yang tidak punya email. Saya minta mereka semua punya email.
Nanti, saya akan minta bupati/wali kota untuk mengirimkan laporan cepat lewat emai. Kalau perlu setiap hari harus mengirim email kepada saya, meskipun mungkin hanya berisi, "Apa kabar, Pak?"
Situs resmi Pempprovinsi, juga bisa dimanfaatkan semua birokrat, sehingga mereka diharuskan memiliki ID pemprov, agar memudahkan komunikasi. Misalnya, ganjarpranowo@jatengprov.go.id. Jadi kalau terima email itu, orang jadi ngeh, "O, ini Ganjar yang gubernur Jateng, bukan yang lain."
Tentang Agenda 18 yang sering Anda sampaikan, bagaimana penjabarannya?
Semua rencananya dalam membangun Jawa Tengah yang lebih baik, tertuang dalam agenda 18. Ada frame ideologis, platform partai yang diimplentasikan ke dalam agenda itu. Sudah ada guidance, yang sebenarnya harus dipahami para kepala daerah dari PDIP.
Intinya, menjadi pejabat publik sama halnya menjadi pelayan publik yang excelence, seperti saya sampaikan di awal.
Selain itu masih ada kemiskinan, pengangguran, infrastruktur menjadi tiga hal poin penting dalam agenda 18. Sebab, ketiga hal itu yang dinilai paling menyentuh dan dekat dengan masyarakat. Walaupun, bukan berarti mengenyampingkan, kesehatan ibu dan anak, perspektif gender, perdagangan, dan ekonomi.
Saya ingin konsepsi politik untuk mengakomodir dalam mengambil kebijakan teknokrasi. Partisipasi masyarakat ikut terlibat dan spirit perjuangan itu ada. Saya sadar sepenuhnya, tak mungkin kami, Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko, bisa berjalan sendiri. Perlu dukungan semua pihak, mulai dari birokrasi, pakar, kampus, LSM, media massa, dan juga masyarakat.
Anda sudah pernah mengupas agenda 18 ini dengan siapa saja?
Terkait program tersebut, saya juga telah berkoordinasi dengan Komite Pemberantasan Korupsi (KPK). Teman-teman Pattiro dan KP2KKN, yang sering bersikap kritis, juga saya ajak bicara.
Para rektor dari bebagai perguruan tinggi juga siap memberikan masukan. Lembaga pendidikan ini menjadi bagian yang partisipasi. Walaupun tidak semuanya mampu menjawab tantangan dari kami, namun ada beberapa yang sudah tunjuk jari.
Perguruan tinggi mana saja yang sudah siap bekerja sama?
Ini hanya contoh. UNS, misalnya, siap bermitra menghandle untuk memajukan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) di Jawa Tengah. Saya juga setuju karena sebelumnya UNS pernah mendapatkan reward yang berkaitan dengan UMKM.
Ketika berbicara mengenai politik pangan, mana perguruan tinggi yang punyai kemampuan terbaiknya dalam menjawab hal itu.
Para pakar memberikan yang luar biasa. Mereka menjawab siap untuk membantu kami, UKSW, Unika Soegijapranata, dan universitas lainnya yang siap untuk membantu menyelesaikan pekerjaan besar ini. Juga Unsoed siap membantu dalam peningkatan pertanian. Lalu Undip siap untuk persoalan-persoalan berkait dengan perikanan dan kelautan. Dan masih banyak lagi.
Bagaimana realisasi kemitraan Pemprov dan universitas?
Tentunya, ada memorandum of understanding dulu untuk itu. Namun secara teknis kemitraan ini bisa dibangun. Secara politik, saya kira hal itu memungkinkan. Tinggal teknisnya saja yang diatur.
Taruh kata, budgeting untuk membangun pekerjaan ini bersama perguruan tinggi, Rp 1 miliar cukup tidak?
Saat ini, informasi yang saya terima, untuk riset daerah cuma diberikan dana Rp 100 juta. Saya berani berikan lebih untuk ini.
Saya siap berembug dengan siapapun dan berdiskusi untuk membawa Jawa Tengah ini menjadi lebih baik. (Raka F Pujangga/Achiar M Permana)