Outlook Jateng 2015
Ini Perbedaan Melatih Pemain Muda Dibanding Senior
Ini Perbedaan Melatih Pemain Muda Dibanding Senior, menurut Sartono Anwar
Penulis: ponco wiyono | Editor: iswidodo
Laporan Tribun Jateng, Ponco Wiyono
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Sartono Anwar seorang pelatih handal memaparkan perbedaan melatih pemain muda dibanding pemain senior.
Adakah perbedaan melatih pemain belia atau muda dengan pemain senior?
Jelas ada perbedaan pendekatan. Kepada pemain remaja saya harus lebih kebapakan. Sebenarnya di senior unsur itu juga ada, tapi mereka berpikirnya lebih logis. Jadi saya tak perlu memberi arahan seketat pemain remaja.
Apakah postur fisik pemain Indonesia tak mendukung di kancah internasional?
Mendukung, tidak ada masalah. Orang yang tinggi biasanya lebih lamban. Seharusnya celah ini bisa kita manfaatkan jika postur lebih kecil dan pendek menjadi alasan. Satu hal yang saya catat, ada yang aneh dalam kebijakan penjaringan atlet kita. Di PPLP (Pusat Pendidikan dan Pelatihan olahraga Pelajar, dulu biasa disebut Diklat), pemain berpostur tinggi lebih diutamakan. Di timnas ternyata tak seketat itu. Seharusnya keduanya seirama karena pemain PPLP memiliki potensi besar bagi timnas.
Adakah kekurangan mental atau karakter pemain usia dini yang perlu terus dibenahi?
Di SSB, peranan orangtua penting. Tanpa peran mereka akan percuma. Anak merasa tidak dipentingkan. Mereka jadi malas sehingga akan mengerdilkan mental mereka di segala bidang. Orangtua harus memberi masukan dan dorongan agar anak termotivasi bermain bola. Berkecimpung di olahraga ini butuh waktu jika ingin sukses. Latihan sejak usia 6 tahun, baru memetik hasilnya 15 tahun kemudian.
Mental pemain muda terkadang aneh. Malas berlatih lalu iri pada yang sukses. Kunci sukses sebenarnya hanya dua: rajin dan disiplin. Padahal mengejar dua tadi kesulitan. Mereka juga lupa jujur itu penting dalam olahraga. Disuruh lari guna menempa fisik, mereka cuma melaksanakannya 70 persen. Latihan sering bolos karena alasan pelajaran tambahan.
Berarti banyak yang masuk SSB tidak menjadi pesepakbola profesional?
Saat ini saya belum merasa perlu mengatakan setop, jika seorang anak sebaiknya berhenti bermain bola. Terutama karena pelatih menganggap dia tak lagi berpotensi. Namun, suatu waktu akan terjadi. Saya akan beritahu jika Anda sudah mentok di sepakbola. Silakan cari bidang lain yang cocok dan bisa memunculkan potensimu. Sekarang saya realistis jika jumlah siswa penting untuk membayar pelatih.
Mengapa kualitas yang bagus di usia dini justru memburuk ketika masuk tim senior? Begitu pula tim kelompok umur Indonesia di level internasional relatif bagus, tapi tim senior melempem.
Ada beberapa kemungkinan seorang pemain senior yang kualitasnya tidak sebagus ketika masih anak-anak. Pertama, dia telat terjun ke sepakbola. Usia 15 tahun baru masuk SSB, padahal seharusnya sejak umur 6 tahun sudah diperkenalkan dasar-dasar bermain bola. Pelatih juga berpengaruh karena dia yang menentukan tahapannya. Pelatih harus memahami jenjang bertahap untuk anak-anak didik.
Tidak adanya turnamen reguler di segala jenjang juga berpengaruh. Ditambah lagi, kesempatan mereka terhalang oleh pemain naturalisasi. Saya dengar tim-tim Divisi Utama musim depan tidak akan diperkuat pemain asing? Saya setuju!
Sudah memadaikah jumlah turnamen atau kompetisi usia dini di level lokal dan nasional?
Masih minim. Untuk usia dini kurang, remaja juga kurang. Usia dini pun seharusnya ada kompetisi reguler.
Perlukah event usia dini berujung pada gelar juara?
Belum perlu! Jika mengincar banyak peserta dengan menggelar format kejuaraan, lebih baik bikin lomba timang-timang bola. Itu lebih cocok, terutama bagi anak-anak yang masih ada di level bermain. (ponco wiyono)