Ledakan Sarinah
Langgeng Sejak Awal Yakin Ayahnya Bukan Teroris
Karena dekat dengan pos polisi, Sugito kemungkinan besar hendak berlindung di tempat itu. Namun ternyata pelaku teror juga mengebom pos polisi
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Sugito (43) yang jenazahnya berada di depan pos polisi depan gedung Sarinah, Jl MH Thamrin, Jakarta, dinyatakan bukan bagian dari kelompok teroris. Semula, warga Karawang tersebut dicurigai sebagai pengebom bunuh diri di pos polisi bersama Dian Joni Kurniadi (25).
Jenazah Sugito diambil keluarganya di RS Polri, Kramat Jati, Jakarta, Minggu (17/1). "Sugito adalah warga biasa, itu kami tegaskan. Indikator itu dari data dan keterangan orang tua yang bersangkutan," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Mohammad Iqbal, Minggu.
Iqbal mengakui awalnya Sugito diduga merupakan pelaku teror. Dugaan tersebut, kata Iqbal, berawal dari rekaman CCTV yang memperlihatkan Sugito sedang berjalan bersamaan dengan Dian sebelum ledakan di pos polisi depan Sarinah.
"Selain itu ada saksi melihat Sugito berjalan beriringan dengan Dian. Sugito pada saat itu ada di lokasi (pos polisi) berbarengan dengan Dian. Nama Sugito sama persis dengan anggota jaringan yang sedang kami cari-cari," ujar Iqbal.
Polisi menemukan identitas Sugito di sakunya. Kemudian dilakukan penelusuran kepada pihak keluarga dan tempat kerja korban. Akhirnya dipastikan Sugito adalah korban, warga biasa.
"Satu pelaku meninggal bunuh diri, dua dilumpuhkan di areal parkir gerai Starbucks, dan yang keempat eksekutor pengeboman di pos polisi. Jadi kami pastikan pelakunya empat. Sugito bekerja di perusahaan kurir dan keluarga termasuk orangtua sudah diperiksa juga," tegas Iqbal.
Putra kedua Sugito, Langgeng Prayogi, sejak awal meyakini bapaknya bukan teroris. "Kalau bapak saya teroris, sejak awal Densus 88 pasti gerebek," ujar Langgeng ketika ditemui di lokasi pemakaman Sugito, kawasan Purwasari, Karawang.
Hingga jenazahnya dibawa ke rumah duka dan dimakamkan, Langgeng belum melihat wajah bapaknya. "Saya nggak berani, nggak sanggup sama sekali," ujarnya.
Setiap hari, katanya, Sugito pergi-pulang dari Karawang-Jakarta menggunakan kereta api. Ia membawa sepeda motor dari rumahnya kemudian menitipkan di Stasiun Kereta Api Klari yang tidak jauh dari rumahnya.
"Waktu ada bom pertama, bapak saya lagi di sekitar itu. Nah bapak saya mau berlindung di pos polisi dekat Sarinah, tapi ternyata di sana ada bom juga. Kepala bapak sempat terkena benda keras," ujar Langgeng.
Kirim paket ke Sarinah
Keterangan serupa dikatakan Sukarmin (59), kakak ipar Sugito. Ia menjelaskan korban bekerja di perusahaan pengiriman PT Fajar Indah Citra Cemerlang (FICC), Jakarta Pusat, lokasinya tidak jauh dari gedung Sarinah.
"Saat kejadian, Sugito ditugaskan kantornya untuk mengirim paket di wilayah Sarinah," ujar Sukarmin di rumah duka, Perum Panorama Indah, Desa/Kecamatan Purwasari, Kabupaten Karawang, Minggu.
Sugito, kata Sukarmin, berdasarkan informasi yang ia terima, berangkat dari kantornya berdua bersama seorang rekannya sesama kurir. Karena akan mengirim paket di kawasan Sarinah, Sugito berhenti di Jalan MH Thamrin.
"Sedangkan temannya meneruskan perjalanan. Saat turun dari mobil, tiba-tiba ada bom. Sugito kemungkinan mencari tempat berlindung setelah ada bom," ujarnya.
Karena dekat dengan pos polisi, Sugito kemungkinan besar hendak berlindung di tempat itu. Namun ternyata pelaku teror juga mengebom pos polisi. "Saat ada ledakkan di pos polisi, Sugito terkena," ujarnya.
Sebelum ada klarifikasi, nama Sugito dicurigai sebagai anggota jaringan teroris yang melakukan aksi bom bunuh diri. "Informasi yang beredar sebelumnya itu menyakitkan kami. Sugito itu korban dari perbuatan teroris biadab," ujar Sukarmin seraya mengatakan polisi menemukan tas milik Sugito berisi surat-surat yang harus dikirimkan.
Sugito meninggalkan istri dan tiga orang anak. Dua orang anak masih jadi tangguangan keluarga. "Sugito ini tulang punggung keluarga, masih ada dua anak yang masih perlu dibiayai. Kami sebagai pihak keluarga akan membantu," ujarnya.
Jenazah Sugito dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Kecamatan Purwasari, tak jauh dari rumah duka.Istri Sugito, Eni Sulastri (50) menangis saat melihat jenazah suaminya di dalam peti mati. Ia sempat ingin melihat kondisi terakhir Sugito dengan membuka peti mati.
Namun ia membatalkan niatnya. Anaknya yang kedua, Langgeng Prayogi (17), sambil berurai air mata, sempat memeluk peti jenazah ayahnya. Begitu juga dengan anak bungsunya.
Anak pertama Sugito, Ratih Egi Sagita (22) tak kuasa menahan air mata melihat jenazah bapaknya di peti mati. Tubuhnya sampai oleng namun beruntung bisa dibopong saudaranya.
Keluarga almarhum Sugito mengaku bersyukur mendengar Polri telah secara resmi menyatakan Sugito sebagai korban. "Alhamdulillah, kami tenang setelah ada kepastian status saudara kami, Sugito, merupakan korban bukan pelaku. Ini menunjukkan yang salah itu salah yang benar itu benar," ujar H Ily Jamili (68), saudara Sugito. (tribunjabar/men/gle)