FOCUS
Jlitheng Kakangku!
Dia permaisuri Hindu dalam sebuah kerajaan Islam, yang memerintah dalam waktu yang terbilang panjang, 43 tahun. Mariam uz-Zamani, ibu segala zaman
Penulis: achiar m permana | Editor: bakti buwono budiasto
TRIBUNJATENG.COM - SYAHDAN, sejak lahir Kresna sudah ditakdirkan berkulit hitam. Legam. Bertolak belakang dengan kakak kembarnya, Baladewa, yang berkulit putih.
Namun, persoalan kulit sama sekali tidak membuat putra Prabu Basudewa itu menjadi turun kasta. Kresna, ksatria titisan Batara Wisnu, tetaplah tokoh penting--untuk tidak menyebut sebagai "yang terpenting", dalam keluarga Pandawa. Dia adalah penasihat cum pengatur strategi para putra Pandu.
Pada hampir semua kisah Pandawa, Kresna menempati posisi strategis. Ketika Werkudara kebingungan lantaran tali pusar Jabang Tetuka, putranya yang di kemudian hari menjadi Raden Gatotkaca, Kresna yang memberi solusi. Dia yang menyarankan Arjuna bertapa untuk meminta panah Kuntawijayandanu, yang bisa memotong tali pusar Tetuka.
Pun ketika Arjuna hanya berhasil membawa pulang warangka Kunta, Kresna pula yang memastikan bahwa wadah senjata itu cukup untuk memotong tali pusar Tetuka. Juga ketika Sang Bima kebingungan, ketika warangka yang digunakan untuk memotong tali pusar justru melesap ke dalam tubuh putranya. "Jlitheng kakangku. Iki kepriye, sida mati tenan jabang bayi iki mengko. Ijole kowe!" teriak Bima.
'Jlitheng' merupakan sapaan Werkudara kepada Kresna, sapaan yang khas. Kata 'jlitheng' atau 'jalitheng' merujuk pada warna kulit Kresna. Ya, kata 'krsna' dalam bahasa Sanskerta pada dasarnya merupakan kata sifat yang berarti "hitam", "gelap" atau "biru tua". Dalam tradisi India, Kresna dikenal pula sebagai Kaladev, dewa berkulit hitam alias The Black Deity.
Kresna, yang dipercaya sebagai pengayom semua titah di bumi, sama sekali tidak larut dalam kebingungan Werkudara. Dengan lirih, dia pun berkata. "Sareh, sareh, Yayi! Pun kakang ora maido menawa sliramu padha bingung lan kodheng. Coba padha mirangna kandhaku ya, Dhi! Lelakon iki pancen wis dadi kersaning Jawata. Wis ginaris manawa warangka iku kudu musna manjing ing pusering putramu, sarta iku dadi sifat kandele." (Sabar, sabar, Adikku. Aku tidak kalau menyalahkan, kalau kamu bingung dan hilang akal. Dengarkan aku, Adikku, kisah ini memang sudah menjadi kehendak Dewata. Sudah suratan takdir bahwa warangka (Kunta) itu harus melesap di pusar anakmu, dan itu akan menjadi kekuatannya)."
Pada perang Baratayuda, kisah pertempuran sesama keluarga Barata, Kresna berada di pihak Pandawa. Dia yang menjadi pengatur strategi bagi para putra Kunti dan Madrim. Atas kecermatan strateginya pula, keluarga Pandawa memenangi perang di Padang Kurusetra.
Bahkan, pada salah satu kisah, Kresna bertindak sebagai kusir kereta, saat Arjuna menjadi senapati Pandawa. Dia pula yang membangkitkan semangat Arjuna, yang terpuruk setelah panah Karna--senapati Kurawa--mengenai rambutnya. Kitab Bhagawadgita, salah satu rujukan pelajaran kepemimpinan, merekam dialog bernas antara Kresna dan Arjuna sebelum perang Baratayudha itu.
Adik Kresna, Dewi Sembadra, juga berkulit hitam. Dia bahkan memiliki dasa nama atau nama lain, Rara Ireng, sesuai dengan warna kulitnya. Toh begitu, Sang Lelananging Jagad, Arjuna, menjadikannya istri pertama. Istri yang paling dicinta.
Jadi, warna kulit sama sekali tidak menjadi masalah bagi Kresna atau Sembadra untuk menjadi "penting" dalam keluarga Pandawa. Peran dan kontribusi yang membuat mereka bernilai, tak peduli apa pun warna kulitnya.
"La kok sekarang ada kelompok yang mengacak-acak kebinekaan, menebar kebencian, dengan menyebar konten SARA? Apa ra kuwalik udele ta, Kang," bisik Dawir tiba-tiba, dari belakang tengkuk saya.
Keberadaan Saracen, sindikat yang aktif menebar kebencian dan konten SARA di media sosial, membuat saya tidak habis pikir. Di negara yang kemajemukan merupakan keniscayaan, mengapa kelompok macam begini masih mendapatkan tempat. Dan, konon, mendapatkan bayaran pula. Nilai tarifnya mencapai Rp 72 juta per paket.
"Jumlah akun yang tergabung dalam jaringan grup Saracen ini lebih dari 800 ribu akun. Ada banyak yang terpengaruh oleh hasutan yang dilancarkan kelompok Saracen," kata Kepala Subbagian Operasi Satuan Tugas Patroli Siber pada Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, AKBP Susatyo Purnomo, saat jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (23/8/2017).
Tidak kurang, Presiden Joko Widodo meminta agar kelompok penebar ujaran kebencian dan konten SARA, semacam Saracen, diusut hingga ke akar-akarnya. "Ini (kelompok penebar ujaran kebencian dan SARA--Red) tentu bisa merusak persatan dan kesatuan bangsa kalau ini dibiarkan. Karena itu Polri harus mengusut tuntas sampai ke akar-akarnya," kata Staf Khusus Bidang Komunikasi Presiden, Johan Budi SP, Jumat (25/8/2017).
Soal kebijakan menangani SARA, kita boleh belajar pada kisah Ratu Jodha, yang kisah panjangnya kini di-rerun di sebuah stasiun televisi swasta. Jodha, dalam "sinetron" Jodha Akbar diperankan secara ciamik oleh Paridhi Sharma, merupakan permaisuri utama dari Kekaisaran Mughal, India.
Dia permaisuri Hindu dalam sebuah kerajaan Islam, yang memerintah dalam waktu yang terbilang panjang, 43 tahun. Mariam uz-Zamani, ibu segala zaman, begitu gelarnya. Secara luas, Jodha, diakui dalam historiografi India modern sebagai contoh toleransi di Mughal, yaitu tentang perbedaan agama dan kebijakan inklusif mereka dalam memperluas kerajaan yang majemuk: multiras, multietnis, dan multiagama.
"Halah, padune Sampean kesengsem lirikane Paridhi Sharma," sindir Dawir, membuat saya terskak mat. Kehabisan kata-kata. (tribunjateng/cetak/Achiar M Permana)
