Kisah Pandai Besi di Binorong Banjarnegara Bertahan dengan Cara Tradisional
Di desa ini, profesi sebagai pandai besi masih diminati sebagian warga. Masih ada beberapa rumah produksi alat berbahan besi
Penulis: khoirul muzaki | Editor: m nur huda
Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki
TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA - Suara berdentang memecah kesepian sebuah kampung di Desa Binorong, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara.
Supono, Riswantoro, Sutri dan Sukiman terus memukulkan palu godam ke batang besi yang telah dipanaskan.
Empat pasang mata fokus pada titik sama, besi berbentuk sabit seukuran sekira 15 sentimeter. Nyala merah pada besi itu menunjukkan tingkat kepanasan yang tinggi.
Karena itu mereka harus jeli agar godam yang dipukulkan ke sasaran sama tidak saling bertumbukan.
Sukiman lebih ekstra hati-hati. Ia punya peran vital dan tanggung jawab paling berat dalam pekerjaan ini.
Tangan kirinya harus kuat menyepit besi. Sementara tangan kanannya memegang bodem untuk menempa besi keras hingga gepeng.
Karena itu tidak sembarang orang bisa menjalankan tugas ini. Butuh waktu bertahun untuk berlatih menyepit besi panas.
Jika pegangan tak kuat, atau salah perhitungan dalam menyepit, besi panas bisa lepas dan terpental saat dipukul, hingga mencelakai orang di sekitarnya.
Kemampuan ini jarang dimiliki dan diminati. Kebanyakan pekerja lebih memilih menjadi tukang pukul daripada mengambil peran yang amat berisiko itu.
"Paling susah yang bagian menyepit besi, kalau bukan ahli dan terlatih, berat,"kata Sukarjo, pandai besi di Desa Binorong.
Usai tertumbuk ratusan kali, besi keras itu akhirnya luluh hingga menjadi gepeng. Namun bukan berarti pekerjaan para pekerja ini terhenti. Puluhan batang besi yang dimasak pada tungku api masih menanti untuk dipoles menjadi senjata.
Tangan-tangan kekar itu baru berhenti mengayun saat suara azan zuhur menyela bunyi dentangan.
Mereka sesaat dapat menghela nafas panjang, menenggak banyak air putih, lalu menyulut batang rokok sembari cengkerama ringan.
Sisa peluh yang mengalir di kulit legam mereka cepat terlahap oleh angin desa yang masih segar.