Kisah Pandai Besi di Binorong Banjarnegara Bertahan dengan Cara Tradisional
Di desa ini, profesi sebagai pandai besi masih diminati sebagian warga. Masih ada beberapa rumah produksi alat berbahan besi
Penulis: khoirul muzaki | Editor: m nur huda
Satu jam kemudian, para pekerja ini harus mengangkat kembali godam mereka, lalu memukulkannya ke besi panas tanpa henti, sampai sore hari.
Di desa ini, profesi sebagai pandai besi masih diminati sebagian warga. Keberadaan beberapa rumah produksi alat berbahan besi di desa ini membuktikannya. Kebanyakan pandai besi masih menggunakan cara tradisional dalam menempa besi menjadi gaman.
Sukarjo (63), mengaku telah lebih dari 30 tahun menekuni usaha ini. Sebelum membuka bengkel sendiri, Sukarjo waktu muda bekerja kepada pandai besi yang cukup tersohor di desanya, Abdurrahman.
"Dulu kerja sama orang, lalu buat tempat produkai sendiri. Mulanya hanya ada satu tempat usaha, lalu berkembang banyak karena pekerjanya buka usaha sendiri,"katanya.
Di usianya yang semakin tua, Sukarjo menyadari ototnya semakin kendur. Tak mungkin ia terus-terusan jadi tukang pukul yang membutuhkan fisik prima. Ia akhirnya membuka rumah produksi sendiri, lalu melimpahkan pekerjaan berat itu ke beberapa pekerjanya yang lebih muda.
Ia hanya membantu merapikan hasil pekerjaan para pekerjanya sebelum senjata itu dijual ke pasar. Bengkel Sukarjo khusus memproduksi alat pertanian berbahan besi semisal sabit, golok, dan pancong. Terkadang ia menerima pesanan parang. Ia melayani permintaan gaman dengan bentuk sesuai pesanan.
Bagi Sukarjo, usaha alat besi tidak ada matinya. Sepanjang ladang dan persawahan masih terbentang, serta profesi petani belum hilang, permintaan terhadap alat-alat pertanian akan terus ada.
Setiap 5 hari sekali, ia mengangkut sekitar seratusan alat yang diproduksi para pandai ke pasar Punggelan. Ia menjual rata-rata peralat itu Rp 30 ribu. Di pasar itu, para pelanggannya sudah menanti untuk memborong dagangannya.
"Paling kalau pas musim pendaftaran anak sekolah, agak sepi permintaan,"katanya
Namun keberadaan pandai besi tradisional ini terancam tergusur oleh teknologi mesin. Di tempat lain, pemilik usaha alat besi banyak yang telah memodernisasi alat produksi mereka.
Mesin itu menggantikan peran tukang pukul yang selama ini jadi identitas pandai besi tradisional.
Mesin akan bekerja menempa besi panas hingga gepeng sesuai keinginan. Tenaga manusia tidak dibutuhkan lagi untuk proses ini.
Alat modern ini tentu memudahkan sekaligus menguntungkan bagi pemilik usaha. Biaya produksi bisa ditekan karena jumlah tenaga kerja dapat dikurangi.
Namun keuntungan ini tidak serta merta dinikmati oleh buruh yang biasa berperan sebagai juru pukul. Bodem mereka tak berguna lagi.
Otot kekar mereka tak dibutuhkan lagi sehingga terancam kehilangan mata pencaharian.