FOCUS
Teror Aswatama
Teror Aswatama. Malaikat maut masih mengintai kubu Pandawa, sang pemenang perang dahsyat selama 18 hari dalam epos Mahabharata tersebut.
Penulis: achiar m permana | Editor: iswidodo
Tajuk ditulis oleh wartawan Tribun Jateng, Achiar M Permana
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Syahdan Perang Baratayudha memang telah usai. Namun, bara belum benar-benar padam. Malaikat maut masih mengintai kubu Pandawa, sang pemenang perang dahsyat selama 18 hari dalam epos Mahabharata tersebut.
Ya, bara itu masih menyala di dada Aswatama, putra semata wayang Begawan Drona. Dia bertekad membalas dendam atas kematian sang ayah, yang menurutnya, berbalut tipu daya. Drona tewas setelah kesaktiannya menguap, saat mendengar "Estitama" mati dari mulut Yudhistira, sulung Pandawa yang dikenal tidak pernah berdusta.
"Para Pandawa harus mati. Tumpes sak cindhil abange," begitu tekad Aswatama.
Ancaman Aswatama jelas bukan pepesan kosong. Dia ksatria pilih tanding. Konon, ketangkasan Aswatama dalam memanah setara--atau setidaknya nyaris--dengan Arjuna. Kekuatannya 11-12 dengan Bima. Dan jangan lupa, dia putra Drona, mahaguru para Pandawa dan Kurawa.
Drestajumena berada di daftar pertama calon korban Aswatama. Sang ksatria Cempalareja, adik Dewi Drupadi, itu adalah orang yang membuat Drona murud kasedan jati.
Para perempuan Arjuna berada di baris berikutnya. Aswatama menganggap, Arjuna yang telah menewaskan para senapati Kurawa di Padang Kurusetra, tempat Baratayudha berlangsung. Dia menganggap, istri-istri Arjuna bisa menjadi pembayar utang atas kematian para "pahlawan" Kurawa.
Berikutnya, sebagai bagian dari tekad "tumpes sak cindhil abange", semua keturunan Pandawa harus tewas. Kalau mereka mati, garis dinasti Pandawa akan terputus. Kalau mereka tewas--pikir Aswatama--Pandawa akan kehilangan daya.
Maka, demi mewujudkan niatnya, malam itu Aswatama menyelinap ke Astinapura. Dia masuk melalui lubang, seperti landak, supaya tidak tepergok para Pandawa. Atas bantuan sang ibu, Dewi Wilutama, Aswatama bisa menggangsir tanah, membuat terowongan untuk menyelinap ke istana.
Setiba di istana, Aswatama merapal japa. Atas kekuatan japa Aswatama, seluruh penghuni istana Astina pun terlelap. Dan, Aswatama pun leluasa menebar teror.
Pancawala, putra semata wayang Prabu Puntadewa dan Dewi Drupadi, menjadi korban pertama Aswatama. Pancawala pewaris pertama atas takhta Astina.
Drestajumena berikutnya. Putra bungsu Prabu Drupada dari Kerajaan Pancala yang tengah terlelap tidak menyadari saat maut menghampirinya lewat tangan Aswatama. Dendam Aswatama atas kematian sang ayah pun terbayar lunas.
Lunas? Belum! Aswatama masih mengincar korban-korban berikutnya. Tumpes sak cindhil abange, begitu tekadnya.
Bak penagih utang, Aswatama mengincar istri-istri Arjuna. Srikandi, perempuan gemulai yang gagah sentosa di medan laga tewas tanpa sempat memberikan perlawanan. Lalu Dewi Sembadra, istri Arjuna yang jelita, menjadi pembayar utang Arjuna. Niken Larasati dan Sulastri pun setali tiga uang.
Dewi Banowati, istri Prabu Duryudana, yang juga berada di istana, tak luput dari keganasan Aswatama.
Dia menganggap, Banowati telah berkhianat. Dia menganggap, putri Prabu Salya--kusir Adipati Karna saat berhadapan dengan Arjuna pada hari ke-17 Perang Baratayudha--sebagai wanita murahan lantaran berselingkuh dengan Sang Lelananging Jagad.