Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Ngopi Pagi

FOKUS : Menanti Ide Cemerlang Cebong dan Kampret

Cebong disematkan pada buzzer atau pendukung Joko Widodo, sementara kampret disematkan pada pendukung Prabowo Subianto.

tribunjateng/bram kusuma
Tajuk ditulis oleh Wartawan Tribun Jateng, M Nur Huda 

Oleh M Nur Huda

Wartawan Tribun Jateng 

TRIBUNJATENG.COM -- Memasuki tahapan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, pengelompokan para pendukung calon presiden makin nampak. Di media sosial, masing-masing saling mengeluarkan ungkapan-ungkapan dan menyebar berbagai informasi yang saling menjatuhkan.

Bagi pengguna aktif media sosial, tentu sudah akrab dengan istilah cebong dan kampret. Cebong disematkan pada buzzer atau pendukung Joko Widodo, sementara kampret disematkan pada  pendukung Prabowo Subianto.

Jika menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, Cebong adalah anak katak atau kodok yang masih kecil berwujud seperti ikan dan hidup di air; berudu. Sementara kampret adalah kelelawar kecil pemakan serangga.

Istilah cebong muncul ketika publik mengetahui bahwa Presiden Jokowi memelihara katak atau kodok di Istana. Sehingga, para buzzer atau pendukungnya di media sosial diistilahkan sebagai cebong.

Sedangkan kampret, disematkan pada pendukung Prabowo Subianto sejak setelah Pilpres 2014.

Menurut budayawan Sujiwo Tejo yang ditemui Tribunjateng.com, pada Minggu (30/9/2018) lalu, kampret memiliki kebiasaan menggelantung, sehingga diidentikan memiliki otak terbalik yang mengesampingkan kebaikan dari pemerintah.

Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Wawan Masudi, yang dikutip dari CNNIndonesia.com, mengungkapkan, pengelompokan perbedaan pilihan di masyarakat Indonesia hampir tidak pernah terlihat dalam pemilu di negara lain, setidaknya di Australia dan Norwegia.

Para pendukung kandidat dalam pemilu di negara yang dianggap matang berdemokrasi, lebih kritis mengamati ide-ide serta gagasan calon pemimpin dan partai politiknya.

“Di negara demokrasi yang lebih dewasa, orang bertarung di level ide, gagasan, kebijakan yang akan diimplementasikan, dan bukan di level identitas serta labelisasi," tuturnya.

Fenomena labelisasi cebong dan kampret dinilai menjadi salah satu indikator sistem demokrasi di Indonesia masih perlu diperbaiki. Indonesia belum sampai level ide gagasan sebagai komoditas utama dalam pertarungan, melainkan masih identitas bahkan diperparah dengan labelisasi.

Sejak masa kampanye yang dibuka Komisi Pemilihan Umum (KPU) 23 September 2018 lalu, hingga kini belum ada ide gagasan dari masing-masing capres-cawapres yang digaungkan.

Dampaknya, alam media sosial justru semakin panas dengan konten-konten negatif saling menjatuhkan kredibilitas kandidat yang tak berkaitan langsung dengan gelaran lima tahunan ini.

Ingatlah, kampanye masih akan berlangsung hingga 13 April 2019 mendatang. Sekitar enam bulan ke depan, masihkah cebong dan kampret akan menebar konten kebencian?

Padahal masih banyak penduduk Indonesia yang menanti ide gagasan cemerlang dari para kandidat capres-cawapres untuk kepentingan Indonesia yang lebih baik ke depan.

Sambil sabar menunggu tim pemenangan capres-cawapres dan parpol pendukungnya menggaungkan ide gagasan cemerlang dari capres-cawapresnya, alangkah indahnya jika cebong dan kampret mengeluarkan ide mengungkap kebaikan, prestasi, dan jejak rekam masing-masing calon yang didukung.(*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved