Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Kisah Kusni Kasdut, Pejuang yang Jadi Perampok dan Gasak Berlian di Musem Nasional, Akan Difilmkan

Tumben, polisi-polisi ini pagi-pagi sekali sudah tertarik berkunjung ke museum. Namun ia tidak tertarik untuk menyelidik lebih jauh. Ah, biarlah

Editor: muslimah
Kompas.id
Kusni Kasdut 

Sesuai rencana yang telah disepakati, empat orang itu segera meninggalkan jip di pinggir jalan.

Selanjutnya pelarian menggunakan dua becak, masing-masing memuat dua orang.

Selama perjalanan Kusni sama sekali tidak berbicara. Di tengah jalan, tangannya terlihat agak bergetar ketika membuka kaus kaki di tangannya.

Sekilas, tampaklah benda-benda berkilauan di dalamnya. Entah, berapa nilainya. Untuk menaksirnya saja, ia tidak berani.

Pasukan dari dunia hitam 

Jati diri Kusni mulai terukir tatkala ia bersama empat temannya sesama pelajar Sekolah Menengah Tehnik Malang, diterima sebagai Heiho.

Pasukan bentukan Tentara Pendudukan Jepang itu sengaja dipersiapkan untuk menghadapi ancaman pasukan Sekutu yang mulai mendekat ke Asia Tenggara.

Kusni tergabung di Batalyon Matsumura, sebuah nama pemberian Jepang untuk lapangan terbang di Timur Laut Malang.

Menjadi tentara Heiho, membuat Kusni merasa punya arti hidup. Gajinya yang sejumlah Rp 35, sudah terasa besar.

Sehari-hari ia bisa leluasa merokok dan jajan sesuka hatinya. Ketika pulang ke rumah ibunya, ia bisa membeli sekadar oleh-oleh.

Sayangnya, kebanggaan Kusni itu tidak lama. Begitu Jepang kalah perang, Agustus 1945, Heiho dibubarkan.

Bagai anak ayam kehilangan induk, Kusni berkali-kali mencoba bergabung dengan pasukan resmi Badan Keamanan Rakyat (cikal bakal TNI) maupun milisi-milisi yang ada kala itu.

Akan tetapi, sekadar untuk mendapat tempat bernaung saja, ternyata tidak mudah.

Jalan hiduplah yang membuat Kusni akhirnya mendapat tempat di Brigade Teratai.

Pasukan laskar rakyat bentukan Jenderal Moestopo ini dikenal juga Pasukan Setan.

Disebut begitu, lantaran pasukan ini merekrut berbagai elemen rakyat kala itu, terutama mereka yang berasal dari dunia hitam.

Jadilah Kusni bergaul dengan copet, bandit, perampok, pelacur, dan lain-lain.

Jenderal Moestopo sengaja mengorganisir para kriminal itu dan menggunakannya sebagai pasukan tempur rahasia yang ternyata sangat efektif.

Tugasnya antara lain menyusup ke wilayah musuh atau  mengumpulkan berbagai barang berharga untuk kepentingan perjuangan.

Salah satu misi yang pernah dijalani Kusni misalnya menyita seluruh perhiasan dari pengusaha keturunan Tionghoa di daerah Gorang Gareng, Madiun.

Dari sana memboyong tiga stoples emas dan berlian. Ketika itu Kusni sama sekali tidak tergiur untuk memiliki barang-barang berharga itu.

Semua diserahkannya penuh untuk perjuangan.

Divonis mati  

Salah satu momen bersejarah sesudah adanya Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda pada 1950, adalah reorganisasi dalam tubuh angkatan bersenjata Republik Indonesia (saat itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat - APRIS).

APRIS melakukan demobilisasi atau penyeleksian tentara untuk dapat bergabung di dalam strukturnya.

Sebuah kenyataan pahit, ketika para laskar rakyat yang turut andil dalam perjuangan kemerdekaan, ternyata ditolak dalam seleksi.

Kusni salah satunya.

Di luar ketentaraan pun, nasib Kusni juga setali tiga uang, lantaran tak kunjung mendapat pekerjaan.

Padahal rasa tanggung jawabnya terhadap istrinya, Lilik Sumarahayu, yang telah memberinya dua putra, tak bisa ditepis begitu saja.

Di tengah rasa frustrasinya, di Surabaya Kusni bertemu dengan beberapa teman semasa perjuangan.

Persamaan nasiblah yang kemudian membuat mereka nekat melakukan aksi kejahatan penculikan seorang dokter.

Aksi berlangsung mulus, dengan nilai tebusan Rp 600 ribu.  

Sayangnya tidak ada catatan soal aksi kejahatan lain dari kelompok ini.

Baru pada 1954, mereka terdengar beraksi di Ibukota. Sasarannya Ali Badjened, saudagar kaya pemilik usaha Marba.

Tak kurang dari sebulan Kusni bersama Usman, Hasan, dan Subagyo mencari informasi mengenai pengusaha keturunan Timur Tengah itu.

Sampai mereka hapal betul kebiasaan-kebiasaannya.

Penculikan rencananya akan dilakukan saat Ali mengunjungi rumah sahabatnya, Awab, di depan Pasar Boplo.

Namun ternyata, aksi itu tidak berlangsung mulus.

Ali berhasil dicegat.

Tapi saat Kusni menodongkan pistol dari belakang, korban ternyata melawan.

Pistol meletus dan tepat mengenai jantung Ali.

Korban meninggal seketika.

Selama beberapa hari, kelompok ini sempat bersembunyi untuk menunggu perkembangan.

Tapi rupanya kematian Ali dikait-kaitkan dengan iklim politik saat itu, sehingga pemerintah mengerahkan seluruh sumber daya.

Polisi sampai harus mengerahkan Geng Kobra, pimpinan Syafei, geng preman yang paling ditakuti di Jakarta kala itu.

Kusni akhirnya tertangkap di Surabaya dan dijatuhi hukuman mati. 

Kusni tetap tenang mendengar vonis itu, bahkan kemudian mengajukan banding.

Karena hakim memperhitungkan jasa-jasanya selama masa revolusi, hukuman akhirnya dijadikan seumur hidup.

Di penjara Cipinang, Kusni termasuk napi yang disegani.

Ia dianggap memiliki ajian belut yang ahli meloloskan diri. Bisa jadi ajian itu bukan isapan jempol.

Pada tahun kelima di penjara, ia berhasil lolos dengan cara menggergaji teralis penjara.

Dalam pelariannya, Kusni tetap berusaha untuk mencari pekerjaan, terutama terkait dengan keahliannya berperang.

Ia bahkan sempat masuk ke dalam Tenaga Bantuan Operasional (TBO) untuk TNI di bawah pimpinan Letnan Kolonel Maladi yang sedang menumpas berbagai pemberontakan di Sulawesi Utara.

Di TBO, Kusni berseragam tentara, dipegangi pistol, tapi tidak berpangkat.

Beberapa operasi dilakukannya hingga ke pedalaman seperti Kiawa, Airmadidi, dan Tondano.

 Tapi karena sempat ada persoalan dengan komandan, ia pulang ke Jawa.

Sebenarnya Kusni berminat untuk ikut menjadi sukarelawan dalam pembebasan Irian Barat pada awal 1960-an.

Namun setelah tiba saat pendaftaran, ia baru tahu, sukarelawan dari sipil ternyata harus berangkat dengan biaya sendiri.

Pupus sudah harapannya untuk mengabdi kepada negaranya.

Di antara hari-hari galaunya, Kusni sempat menelusuri jalan-jalan di Ibukota.

Entah apa yang menuntunnya melangkah masuk ke sebuah museum, Museum Nasional.

Awalnya, benda-benda berusia ratusan tahun yang dipajang di tempat itu dilewatkannya begitu saja.

Baru saat masuk ke sebuah ruangan bernama Ruang Pusaka, ada semacam kegairahan tersendiri.

Di sana terdapat pedang, keris, cincin, bros, gelang, kalung yang semuanya mengandung emas, berlian, atau permata.

Sebuah rencana jahat melintas di pikirannya. 

Difilmkan

Tio Pakusadewo menemukan jejak keluarga Kusni saat mampir ke Purbalingga.

Saat itu, ia baru saja selesai nyekar ke makam kakeknya.

Ia tengah jajan es dawet di pinggir jalan saat orang-orang di sana ngobrol bahwa di sanalah terletak kuburan Kusni Kasdut.

Dari situlah Tio, yang sudah bertahun-tahun tertahan mengangkat kisah Kusni karena kehilangan jejak keluarganya, mulai melacak kembali keberadaan mereka.

Untuk mewujudkan garapan ini, Tio menggandeng Aria Kusumadewa, sutradara “Identitas”.

Produksi film ini dikabarkan akan dimulai pada September. (T.Tjahjo Widyasmoro)

Artikel ini telah terbit di Majalah Intisari dengan Judul Jalan Panjang Kusni Menuju Eksekusi

Sumber: Intisari
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved