Kisah Pilu Rudiyoko, 27 Tahun Jadi Sopir Bus dalam Kota Hanya Bawa Pulang Rp 30 Ribu Tiap Hari
Sejumlah resiko menjadi seorang sopir angkutan umum seperti kecelakaan, mogok mesin, omelan penumpang, panas, hingga dehidrasi sering datang secara
Penulis: Saiful Ma sum | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sejumlah resiko menjadi seorang sopir angkutan umum seperti kecelakaan, mogok mesin, omelan penumpang, panas, hingga dehidrasi sering datang secara tiba-tiba.
Meski tak terhitung jumlahnya, sebagian dari mereka menagku tetap tegar menjalaninya semata-mata untuk menafkahi keluarga.
Seperti halnya Rudiyoko (52) yang kini tinggal di Perbalan, Purwosari Kota Semarang.
Laki-laki 2 anak ini mengaku sudah 27 tahun bekerja menjadi sopir angkutan umum (bus) dalam kota jurusan Terboyo-Mangkang.
Di usianya ke-25 saat Rudi mantap terjun mengais rizki ikut sebuah PO dengan sistim setoran.
Betangkat pagi pukul 06.00 WIB dan biasa pulang sekitar pukul 19.00 WIB ia lakukan setiap harinya.
"Awal memang ikut orang.
Saat itu seteron lancar karena masih ramai ya antara Rp 50 - 150 ribu dapat lah," terang Rudi kepada Tribunjateng.com, Jumat (1/11/2019).
Seiring berjalannya waktu, lanjut Rudi, pendapatannya dalam hal narik angkutan umum mulai terusik.
Sekitar tahun 2012, Rudi mengaku hanya bisa membawa pulang uang maksimal Rp 80 ribu.
Hal itu menurutnya disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya masuknya Bus Rapid Transit (BRT) dalam kota, serta berkembangnya sarana transportasi online.
Kendati demikian, faktor keluarga lah yang membuat Rudi tetap bertahan.
Justru di akhir tahun 2011, dirinya mensiasati agar pendapatan tidak anjlog dengan cara kredit armada.
Selama 7 tahun itu ia harus berbagi hasil antara kebutuhan keluarga dan juga kewajiban setoran.
"Tahun 2018 Oktober selesai.
Meski rasa was-was kala itu sempat gak karuhan karena begitu tidak bayar bisa saja armada diambil diler, alhamdulillah selesai," tambahnya.
Kini Rudi mempunyai sebuah armada bus sendiri keluaran tahun 2000-an sesuai apa yang ia harapkan.
Dalam tampilan luarnya memang layaknya bus yang sudah lama tidak mendapati sentuhan perbaikan.
Namun tidak dengan mesinnya.
Kata Rudi, segala kelengkapan dan kesehatan mesin menjadi prioritasnya tak terkecuali kelayakan rem.
Namun ia mengaku tak mampu untuk meremajakan armadanya.
Di samping butuh biaya yang lumayan besar, pendapatannya pun semakin ngedrop.
Dalam satu hari sekarang yang dulunya bisa membawa uang hingga Rp 120 ribu, kini Rudi hanya bisa membawa uang Rp 30-40 ribu saja.
Sangking sepinya, dirinya hanya mampu jalan 2 kali pergi pulang dengan jumlah penumpang yang hanya segelintir orang saja.
"Sekarang kerja sak mampunya.
Kadang keluar dari terminal tidak ada penumpang sampai terminal satunya hanya segelintir orang.
Rp 40 ribu sudah paling maksimal, bahkan pernah tombok (rugi) Rp 50 ribu karena tidak ada pemasukan sama sekali buat beli solar," lanjutnya.
Dalam sekali pijakan rem dari terminal Terboyo hingga Mangkang ataupun sebaliknya, setiap penumpang umum ia banderol Rp 10 ribu sedangkan penumpang pekerja pabrikan biasa dibayar Rp 4 ribu.
Penghasilan itu jauh dari kata cukup mengingat dirinya masih menghidupi istri dan anaknya.
Meski demikian, Rudi masih tetap ingin bekerja dengan armada yang ia miliki.
Ia masih belum terpikir untuk menjualnya dan beralih ke kerjaan lain bersama kurang lebih 20 orang dan atau 20 armada tersisa.
"Masalahnya ekonomi rumah masih membutuhkan.
Belum ada kepikiran jual bus.
Toh kalau jual masuk rosok.
Sementara masih dibutuhkan masyarakat, tetap dipertahankan.
Tapi tetap harus kerja.
Semoga ke depan membaik," pungkasnya. (Sam)