Ini 3 Kelurahan Anti Politik Uang yang Dibentuk Bawaslu Kota Semarang
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Semarang membentuk kelurahan anti money politics atau politik uang di tiga kelurahan, antara lain
Penulis: Eka Yulianti Fajlin | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Semarang membentuk kelurahan anti money politics atau politik uang di tiga kelurahan, antara lain Kelurahan Sumurboto, Gayamsari, dan Plamongansari.
Koordinator Divisi Hukum Data dan Informasi, Arief Rahman menuturkan, kelurahan anti politik uang ini sebagai bentuk untuk mencegah praktik politik uang yang kemungkinan terjadi dalam kontestasi Pilwakot Semarang tahun 2020.
Melihat data pemilu 2019 lalu, Arief menyebut jumlah laporan yang masuk dan diproses oleh Bawaslu sebanyak 10 pelanggaran.
Ini membuktikan masih banyak masyarakat yang tidak berani melaporkan pelanggaran yang nyata terjadi.
• 2 Pelaku Perebut Lahan dan Penganiaya Tukang Parkir di Sukoharjo Ditangkap Polisi
• Didi Kempot Akan Ramaikan Hari Jadi ke-102 Karanganyar, Catat Tanggalnya
• MLTR Gelar Konser di Semarang, Marsheilla Tak Janjikan Tiket On The Spot
• Tolak Kenaikan Retribusi, Pedagang Pasar Pagi Kota Tegal Minta Dewan Hapus Sewa Kios
"Bukan menjadi hal yang tabu untuk ditutupi bahwa pada Pemilu 2019 lalu praktik memberi uang kepada masyarakat untuk mendongkrok perolehan suara masih terjadi dan dari sisi pengawasan Bawaslu juga kesulitan untuk memproses praktik yang sangat tersembunyi, maka peran masyarakat menjadi penting untuk menangkal serta berani melaporkan dengan menyertakan barang bukti yang mereka dapat," jelasnya, Senin (4/11/2019).
Dia berharap, tiga kelurahan itu bisa menjadi pelopor untuk 174 kelurahan lainnya di Kota Semarang agar berani menolak praktik politik uang pada Pilwakot 2020 mendatang.
"Kami akan menindak tegas segala bentuk praktik poltik uang dalam Pilwakot Semarang karena pemberi dan penerima politik uang diancam pidana maupun denda," katanya.
Adapun sanksi bagi pelaku money politics, sebutnya, sanksi pidana paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit dua ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 1 miliar sesuai dengan Pasal 187 A ayat 1 UU No 10 Tahun 2016. (eyf)