OPINI Santi Pratiwi T Utami : Menjaga Ekosistem Perbukuan
Literasi dan buku ibarat sepasang kaki yang mesti sejalan. Benar, bahwa agenda literasi tak sekadar kegiatan membaca (dan menulis).
Santi Pratiwi T. Utami, M.Pd.
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNNES
Literasi dan buku ibarat sepasang kaki yang mesti sejalan. Benar, bahwa agenda literasi tak sekadar kegiatan membaca (dan menulis). Namun, kecakapan berbagai jenis literasi umumnya diawali dari asupan bacaan yang bergizi.
Bacaan bermutu dilahirkan melalui proses panjang dan melibatkan para pelaku perbukuan. UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan menyebut pemangku kepentingan (stake holder) perbukuan meliputi penulis, editor, penerjemah, penyadur, desainer, ilustrator, pencetak, pengembang buku elektronik, penerbit, dan toko buku.
Hadirnya UU Sistem Perbukuan meneguhkan peran pemerintah dalam mengupayakan tata kelola perbukuan nasional. Salah satu tujuan yang diharapkan maksimal ialah peningkatan peran pemangku kepentingan tersebut, dalam kerja budaya melalui buku.
Sayangnya, akhir-akhir ini peran tersebut makin terusik dengan banyaknya praktik pembajakan buku. Kalau akan dikisahkan, kasus pembajakan buku di Indonesia ibarat rangkaian drama dalam ratusan babak. Telah berjalan begitu lama dan sekadar menjadi tontonan, tanpa penindakan. Selain sudah sangat terang-terangan, pembajakan buku juga telah menjelma menjadi sebuah industri dalam skala besar.
Dalam beberapa kesempatan, berbagai dalih diajukan oleh pembajak buku untuk memperoleh pembenaran. Contohnya, penerbitan tanpa mengindahkan hak cipta dan hak kekayaan intelektual (author rights) itu dilakukan demi turut menyebarkan ilmu pengetahuan.
Alasan apologetis yang penuh kelicikan dan mencolok moral. Beberapa diantaranya malah mengatasnamakan penulis, dengan asumsi bahwa penulis pasti senang bila bukunya makin banyak dibaca. Begitu meremehkan waktu, pikiran, dan imajinasi penulis dalam menghasilkan karya.
Pembajakan Kian Marak
Mengapa praktik pembajakan buku tak kunjung redup? karena permintaan pasar pun tak pernah surut. Artinya, konsumen buku bajakan masih menganggap hal tersebut sesuatu yang lumrah dan baik-baik saja. Campur tangan pasar dengan konsumen yang belum teredukasi ini akan makin menambah tebal modal pembajak. Mereka akan makin leluasa dan masif memproduksi buku-buku yang dilabeli buku KW, buku nonorisinal, atau buku repro itu.
Dua poin yang dikeluhkan konsumen buku bajakan terhadap penjualan buku orisinal adalah harga dan isi. Terkait harga, buku orisinal dirasa amat mahal dan memberatkan. Wajar, mengingat sebaran persentase dari biaya produksi hingga biaya distribusi yang tak murah juga.
Kurniawan (2019) memerinci persentase biaya yang mesti dibagi mulai dari praproduksi, pajak, royalti penulis, biaya cetak, marketing dan toko buku. Maka, sangat wajar bila harga buku bajakan jauh lebih murah. Pembajak hanya perlu “merampok” isinya, cetak, dan jual semaunya. Sangat tercela!
Terkait isi, konsumen buku bajakan umumnya berseloroh “toh isinya sama dengan aslinya”. Beberapa diantaranya berpikir “yang penting punya buku dan dapat dibaca”. Betapa egoisnya! Pernyataan tersebut juga menandakan bagaimana cara pandang mereka terhadap buku.
Hakikatnya buku bukan sekadar benda atau objek, melainkan juga “juru bicara” penulis. Bila ditarik ke belakang, banyak penulis menjadikan aktivitas menulisnya sebagai sebuah profesi. Lewat royalti 10-20% dari harga buku yang terjual lah, kerja intelektual itu dibayar. Dan, perolehan royalti itu berasa mimpi bila karya mereka terus “dicuri”. Ayolah, masih tegakah?