Ngopi Pagi
FOKUS : Taubatan Sambal
DI Tanjung Priok Jakarta, dua mantan napi hasil asimilasi Covid-19 beraksi di angkot. Keduanya menodong seorang wanita
Penulis: Abduh Imanulhaq | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Abduh Imanulhaq
Wartawan Tribun Jateng
DI Tanjung Priok Jakarta, dua mantan napi hasil asimilasi Covid-19 beraksi di angkot. Keduanya menodong seorang wanita kemudian membawa lari barang korban.
Pada akhirnya, dua-duanya roboh diterjang peluru polisi. Seorang tewas dalam pelarian, seorang lagi kakinya pincang.
Bukan kebetulan kalau mereka sebelumnya masuk penjara karena kejahatan serupa. Ketika keluar, keduanya mencari uang memakai cara yang sama.
Di Prembun Kebumen, tiga residivis Nusakambangan tertangkap saat mencuri kendaraan. Dua di antaranya mantan napi hasil asimilasi Covid-19.
Ternyata di dalam bui, ketiganya bersekongkol melakukan kejahatan lagi. Nasib nahas membuat mereka tepergok warga saat beraksi.
Dua kejahatan di lokasi dan waktu berbeda tapi ada satu latar belakang yang sama. Mereka keluar dari penjara sebelum waktunya berkat program asimilasi wabah corona Kementerian Hukum dan HAM.
Masuk penjara alih-alih bikin jera, justru membuat kesepakatan berbuat jahat lagi ketika bebas. Keluar dari penjara, berbuat kriminalitas kembali merugikan warga lain.
Tobat sambel, kapok lombok, begitulah ungkapan yang biasa kita dengar di tengah masyarakat. Bermakna penyesalan datang hanya ketika tertangkap atau terungkap. Persis sensasi pedas memakan sambal yang malah bikin ketagihan.
Sebelum dua kasus itu terjadi, 13 kejahatan se-Indonesia yang dilakukan eks-napi hasil asimilasi diungkap polisi. Jenisnya beragam, dari curanmor sampai narkotika.
Secara umum per 14 April 2020, data napi bebas sesuai program asimilasi Covid-19 adalah 36.706 orang. Sudah termasuk pembebasan bersyarat atau diistilahkan integrasi.
Di Jateng, sekitar 2.000 napi yang dibebaskan melalui program ini. Merupakan napi tindak pidana umum yang telah memenuhi persyaratan.
Dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM disebutkan, salah satu pertimbangan program itu adalah tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan negara. Mereka menjadi rentan terhadap penyebaran corona.
Kalau menghitung persentase, jelas angka 15 kasus itu amat kecil dibandingkan 36.700-an. Secara statistik, jumlah sebesar itu mungkin tak berarti apa-apa.
Cuma bagi kita orang awam, kriminalitas sesedikit dan sekecil apa pun sudah sangat meresahkan. Kasak-kusuk soal kejahatan yang mengintai terdengar di mana-mana.
Entah ada kaitannya atau tidak, belakangan ini kerap terdengar kabar tentang warga yang kehilangan motor. Kewaspadaan pun menebal, tercapai kesepakatan mengaktifkan lagi penjagaan lingkungan masing-masing.
Dalam konteks ini, kita senang mendengar ancaman Polda Jateng kepada para residivis hasil asimilasi Covid-19. Sebagaimana disampaikan Kepala Bidang Humas Kombes Iskandar, polisi siap ambil tindakan tembak di tempat untuk melumpuhkan pelaku kejahatan.
Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Situasi memang sedang sulit cuma jangan lantas gelap mata.
Semua orang merasakan kondisi yang sama akibat Covid-19. Namun, jangan lantas menyia-nyiakan udara kebebasan hanya karena problem kebutuhan. Semoga tak ada masalah baru ketika kita fokus melawan corona. (*)