Wabah Virus Corona
Temuan Kasus Corona Lokal di Yogya, Tak Diketahui Asal Usulnya, Menjalar ke Ibu Rumah Tangga
Tim Gugus Tugas percepatan penanganan Covid-19 DI Yogyakarta telah melakukan penelitian kepada 713 kasus yang telah terkonfimasi hingga Rabu, 22/4/202
TRIBUNJATENG.COM, YOGYA - Tim Gugus Tugas percepatan penanganan Covid-19 DI Yogyakarta telah melakukan penelitian kepada 713 kasus yang telah terkonfimasi hingga Rabu, 22/4/2020).
Penyelidikan epidemiologi tersebut dilakukan oleh tim Ahli dari Universitas Gajah Mada (UGM) yang dipimpin dr. Riris Andono Ahmad, MPH. Phd.
Dijelaskan oleh Andono, dari total kasus yang terkonfirmasi, telah dilakukan penyelidikan kepada 71 kasus.
• Niat Sholat Tarawih dan Tata Caranya serta Doa Setelah Sholat Witir
• Ini Besaran BLT Bagi Masyarakat Terdampak Covid-19 di Banyumas, Dibagi Dua
• KAI Batalkan Seluruh Perjalanan Jarak Jauh dari dan Menuju Jakarta Mulai 24 April
• Diingatkan Masa Lalunya, Ardi Bakrie Suami Nia Ramadhani Tak Kuasa Menahan Kesedihan
Dari hasil penyelidikan tersebut, diketahui bahwa 51 kasus merupakan kasus yang mempunyai riwayat paparan berupa kunjungan ke wilayah-wilayah yang dianggap sebagai zona merah.
Baik karena baru saja pulang berkunjung dari luar negeri ataupun daerah lain di Indonesia.
Dari hasil contact tracing terhadap 51 kasus generasi pertama Covid 19 di DIY, telah ditemukan 12 kasus yang tertular dari kasus generasi pertama.
Penularan kasus dari generasi pertama (G1) ke generasi kedua (G2), merupakan bukti telah terjadinya penularan lokal di wilayah DIY.
Penularan G1 ke G2 telah terjadi di kelima kabupaten di DIY. Penularan G1-G2 merupakan penularan yang sifatnya terbatas.
"Dari 51 kasus itu, kami catat ada 10 yang baru. Kami sebut sebagai generasi dua. Penularan lokal terbatas, karena masih berkaitan dengan kasus import," katanya.
Ia melanjutkan, perlu adanya pemahaman kapasitas diagnosis di Pemda DIY serta masyarakat.
Menurutnya, apabila ditemukan saat proses tracing muncul kasus baru lebih banyak dari kasus sebelumnya, kemungkinan penularan lokal masih sedikit.
Indikasi adanya kasus lokal tersebut diperkuat dengan adanya temuan lima kasus baru yang tidak ditemukan asal-usulnya.
"Yaitu ibu rumah tangga dan pensiunan. Secara mobilitas mereka sangat terbatas. Nah, ini kenapa muncul orang positif Covid-19 tanpa gejala. Artinya lima kasus dengan mobilitas rendah ini tidak mengetahui, apakah lingkungannya baik dan saudara atau tetangganya ini dalam kondisi sehat," tegasnya.
Penularan lokal di masyarakat terjadi meluas apabila ditemukan bukti bahwa kasus-kasus dari generasi ke generasi di bawahnya (G2, G3, G4) jumlah kasusnya jauh melebihi generasi sebelumnya.
Akan tetapi hal ini menurutnya juga ditentukan oleh kapasitas penemuan dan diagnosis yang dimiliki.
"Oleh karena itu, perlu adanya kegiatan contact tracing dan skrining serologis yang lebih ekstensif untuk melihat sebaran penularan lokal di populasi," sambungnya.
Lebih lanjut pria yang juga menjabat sebagai Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM ini memaparkan, sudah ada tiga kasus di G3 atau penularan lokal.
"Yang dua ada di Kabupaten Sleman. Sementara satunya saya lupa," terangnya.
Lalu bagaimana untuk pencegahannya?
Mengenai hal itu, Andono menyebut screening, rapid test secara intens sangat diperlukan.
Karena, lanjut dia, hanya cara seperti itu bisa segera dilakukan pemutusan rantai penyebaran lokal.
"Karena indikasi untuk meluas sudah mulai terlihat. Karena satu positif bisa menularkan dua hingga tiga, bahkan lebih. Namun, upaya pencegahan juga masih luas," tegasnya.
Tim Ahli Sulit Potong Rantai Penyebaran Lokal
Peneliti Epidimiologi ini menyimpulkan jika pemotongan rantai penularan lokal lebih sulit.
Alasannya, menurut Andono karena mobilitas interaksi yang tak bisa dibendung.
Lalu bagaimana kecepatan penyebaran lokal tersebut?
Menurutnya, pola interaksi sangat memengaruhi percepatan penanganan Covid-19.
"Itu menjadi jalan terakhir karena vaksin belum juga ditemukan," tegasnya.
Ia mencontohkan, kasus lokal di Jakarta ada 24 ribu, Jawa Barat sekitar 20 ribu. Dari screening yang dilakukan itu sekitar 2,5 persen hingga 3 persen dari jumlah keseluruhan.
"Makanya kecepatan virus tersebut menyebar tergantung pola interaksi masyarakat itu sendiri," imbuhnya.
Lalu yang perlu dilakukan untuk saat ini apa?
Andono menyarankan kepada Pemda DIY supaya meniru Pemerintah Korea Selatan yakni screening lebih meluas, serta isolasi seluruh PDP maupun ODP.
Ia menganggap, untuk saat ini tidak usah bicara PSBB. Pemda DIY siapkan jaring pengaman sosial, dan masyarakat lakukan isolasi dengan suka cita tanpa ada pemaksaan yang berdasar dari peraturan.
"Hukumnya PSBB dengan penanganan wabah sebenarnya sama. Misalnya, orang kena TBC, tapi tak mau minum obat. Pemerintah tidak masalah, namun pemerintah wajib menegur untuk mengisolasikan yang berpenyakit. Tanpa PSBB itu sudah menjadi tindakan yang harus dilakukan," tegas dia.
Patuhi Protokol Kesehatan Atau Jalani Pembatasan Sosial Hingga 2022
Selain menjalani hidup sehat, pemutusan mata rantai Covid-19 memang mengurangi interaksi.
Andono menganggap, jalan tersebut menjadi hal paling perlu dilakukan supaya mata rantai penyebaran virus bisa dihentikan.
Meski penilitiannya mengatakan jumlah kaus G2 lebih sedikit dari G1 namun, hal tak terduga patut diwaspadai.
"Ada ilmuwan dari Harvard University mengatakn, bahwa untuk benar-benar bisa terbebas kita perlu jalani pembatasan sosial hingga 2022," tegasnya.
Alasannya, ia menjelaskan, seperti halnya seseorang di tempat baru, salah satu harus menyesuaikan dengan kondisi yang baru saja di tempati.
Ia menganggap, hal itu sebagai bentuk membiasakan diri hidup di tengah wabah virus.
"Kecuali kalau kita sudah menemukan vaksin. Sementara untuk membuat vaksin juga tak cukup satu tahun," sambung Andono.
Ia mengangap, di dalam pembatasan sosial, ada reduksi transmisi penularan dari waktu ke waktu selalu ada kasus baru.
Jika siklus itu berjalan dengan baik, seseorang akan mencapai hard imunnity. Jadi, menurutnya sangat mungkin jika akan ada pembatasan sosial yang cukup lama.
"Karena ini bencana yang one time. Bukan seperti DBD yang bisa dibasmi secara sekejap. Adanya vaksin pun harus dipikirkan skala produksinya bagaimana. Untuk itu, kita semua butuh menyesuaikan dengan virus ini entah berapa tahun untuk benar-benar hilang," sambungnya.
Satu hal yang kembali ditekankan, menurutnya menjakani protokol kesehatan secara ikhkas menjadi kunci pencegahan penyebaran Covid-19.
"Karena di Korsel itu mereka jalani PSBB secacara sukarela, tanpa ada harus penekanan sanksi dan sebagainya. Komunikasi antara pemerintah dan masyarakat baik," tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Gugus Tuga Covid-19 DIY, Biwara Yuswantana menambahkan, sampai saat ini total pasien salam pengawasan (PDP) mencapai 713.
Sementara jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) di DIY menjadi 3.909.
Dari total 713 PDP menunjukkan, 134 orang diantaranya rawat inap, 533 orang rawat jalan dan selesai pengawasan, dan, 46 orang meninggal.
"Saya imbau masyarakat supaya tetap menjaga hidup sehat. Dan jika terpaksa harus keluar rumah untuk mengenakan masker," pungkasnya. ( Tribunjogja.com | Miftahul Huda )
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Penularan Virus Corona di Yogyakarta, Mulai Zona Merah Kini Ada Temuan Kasus G3