Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

OPINI

OPINI : Titik Optimal Halal Bi Halal Virtual

Pandemi memaksa manusia beradaptasi dengan menghadirkan budaya baru. Era demikian dikenal dengan era The New Normal.

Tribun Jateng
RIBUT LUPIYANTO 

Oleh RIBUT LUPIYANTO

Deputi DirekturCenter for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

Pandemi memaksa manusia beradaptasi dengan menghadirkan budaya baru. Era demikian dikenal dengan era The New Normal. Salah satunya terjadi pada momentum agung dan sacral bagi umat Islam yaitu perayaan Hari Raya Idul Fitri 1441 H.

Pemerintah telah melarang aktifitas mudik. Selanjutnya bersama MUI juga menghimbau agar sholat Idul Fitri masih dilakukan di rumah masing-masing. Tentu imbasnya adalah pada pelaksanaan halal bi halal. Solusi atas keterdesakan kondisi ini adalah teknologi informasi dan komunikasi. Halal bihalal dapat dioptimalkan secara virtual, misal dengan media sosial, teleconference dan lainnya.

Fikih Virtual

Media virtual merupakan tuntutan keniscayaan dalam era digital. Banyak ragam media sosial yang berkembang sekarang, antara lain Facebook, Twitter, Instagram, Path, dan lainnya. Media sosial merupakan bentuk virtual dari komunikasi antarmanusia.

Kelebihan media sosial adalah sangat cepat, tidak menegal batas, atraktif, dan menarik. Sedangkan kelemahannya banyak celah penyalahgunaan, seperti penyebaran ujaran kebencian, hoax, fitnah, dan lainnya.

Era media sosial membantu dalam menyambung silaturahmi, khususnya saat musim lebaran di musim pandemi ini. Tradisi halal bihalal akan bergeser dengan ramainya metode virtual. Mekanisme maaf memaafkan cukup tertulis melalui media sosial atau komunikasi langsung teleconference. Hal ini justru mampu menambah jangkauan dan mempercepat silatuhami.

Batasan etis dan legal tetap perlu diperhatikan dalam penyampaian halal bihalal melalui media sosial. Alih-alih saling memaafkan, jangan sampai malah terjerumus pada saling menyakiti, menyinggung, hingga berkonsekensi ke jalur hukum. Batasannya adalah sama dengan interaksi sosial atau muamalah secara konvensional.

Aktualisasi teologi Islam telah berkembang menyikapi fenomena kontemporer, termasuk media sosial. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah terpanggil menjawab tuntutan zaman dalam menyikapi dinamika virtual melalui media sosial. MUI telah menerbitkan Fatwa MUI Nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.

Fatwa MUI tersebut tercantum beberapa hal yang diharamkan bagi umat Islam saat menggunakan media sosial. Pertama, setiap muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan gibah atau membicarakan keburukan atau aib orang lain, fitnah, namimah atau adu domba, dan penyebaran permusuhan. Kedua, MUI mengharamkan aksi bullying, ujaran kebencian serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras atau antargolongan.

Ketiga, dinyatakan haram bagi umat Muslim yang menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti informasi tentang kematian orang yang masih hidup.

Keempat, umat Muslim diharamkan menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar'i. Haram pula menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.

Kelima, MUI melarang kegiatan memproduksi, menyebarkan dan-atau membuat dapat diaksesnya konten maupun informasi yang tidak benar kepada masyarakat.

Terakhir, MUI menyatakan haram hukumnya bagi aktivitas buzzer di media sosial yang menyediakan informasi berisi hoaks, gibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi. Halini termasuk orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved