Berita Jateng
Korban Kehamilan Tidak Diinginkan Pilih Jalan Pintas Aborsi atau Bunuh Bayinya
perempuan dewasa korban kekerasan seksual yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) membutuhkan peraturan hukum yang melindunginya.
Penulis: Muhammad Yunan Setiawan | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kepala Internal Lrc-KJHAM Nihayatul Mukharomah mengatakan perempuan dewasa korban kekerasan seksual yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) membutuhkan peraturan hukum yang melindunginya.
Tanpa peraturan hukum yang melindungi, kata dia, korban KTD rentan mengalami kriminalisasi.
Menurutnya, saat ini pihaknya dari awal Januari 2020 sampai pertengahan tahun 2020 telah menerima dua kasus kriminalisasi aborsi dan dugaan pembunuhan bayi yang dilahirkan.
• Viral Saat Polisi Evakuasi Ayla Kecelakaan di Jurang, Ditemukan Mayat Wanita di Dalam Datsun Silver
• Malapetaka Benang Layangan, Begini Reaksi Polisi Setelah Ada Kasus Pemotor Tewas Urat Leher Putus
• Lihat Polisi Diserang di Pinggir Jalan, Pria Ini Bukannya Bantu Malah Berfoto Selfie
• Lebih dari 3 Ribu Orang Indonesia, Vietnam dan Filipina Pindah Jadi Warga Negara Taiwan
"Mereka berdua adalah korban KTD.
Tapi saat ini sedang berhadapan dengan hukum," kata Niha, panggilan akrab Nihayatul Mukharomah kepada Tribunjateng.com, Jumat, (12/6/2020).
Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), ujar Niha, bisa disebabkan korban perkosaan atau pasangan yang tidak mau bertanggungjawab atas kehamilan tersebut.
Dalam kondisi seperti itu, lanjutnya, pihak perempuan yang menjadi korban KTD perlu solusi atas apa yang menimpanya.
Satu di antaranya aborsi.
Dia menjelaskan pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi mengacu pada Pasal 75 Ayat (1) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Namun, ungkapnya, terdapat pengecualian terhadap larangan aborsi tersebut, sebagaimana termaktub dalam Pasal 75 Ayat 2 UU Kesehatan.
Dalam pasal tersebut aborsi boleh dilakukan dalam dua kondisi:
Pertama, indikasi kedarutan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidip di luar kandungan;
Kedua, kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Niha menambahkan seorang perempuan yang mengalami kehamilan tapi pelaku atau pasangannya tidak mau tanggungg jawab, pihak perempuan tetap menjadi korban kekerasan seksual.
"Nah ini yang belum ada perlindungan hukumnya. Kami berharap negara sensitif melihat kondisi perempuan sepertu itu," terangnya.
Menurut Niha kalau tidak ada perlindungan akan banyak perempuan-perempuan korban KTD berpotensi dikriminalkan. (yun).
• Siulan Tono Panggil Ratusan Kucing Jalanan di Semarang, Tiap Malam Datangi Pasar Beri Makan dan Obat
• Masa Kelam Sara Wijayanto Jadi Bucin Pacar: Disiksa, Nyaris Dibakar Hingga Lari ke Narkoba
• Pencairan Insentif Kartu Pra Kerja Lamban, Fitur Ganti Rekening Bermasalah, Ini Jawaban Admin
• Mutasi ke Kalimantan, Kesan Yosef Putra Papua Eks Kalapas Sragen : Nasi Hik Cuma Rp 2 Ribu