Kasus Novel Baswedan
LHKPN Jaksa Fedrik Dinilai Janggal, Laporkan Mobil Fortuner dan Lexus Seharga Rp 5 Juta
Komisi Kejaksaan akan memanggil Jaksa Penuntut Umum (JPU) Fedrik Adhar yang menangani kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK
Dalam data LHKPN, Fedrik juga memiliki harta berupa alat bergerak lainnya senilai Rp 2,5 miliar.
Selain itu, Fedrik Adhar mempunyai harta berupa kas dan setara kas dengan jumlah sebesar Rp 61 juta dan harta lainnya senilai Rp 570 juta. Fedrik Adhar juga tercatat memiliki utang senilai Rp 198 juta.
Barita menjelaskan, bisa saja Fedrik melanggar ketentuan pedoman Perilaku Jaksa dan Peraturan Jaksa Agung tentang pola hidup sederhana, termasuk juga kode etik profesi jaksa.
Oleh sebab itu, Komisi Kejaksaan memiliki wewenang untuk mengawasi dugaan pelanggaran itu.
"Seyogianya sebagai pejabat publik memberikan contoh dan keteladanan dan bisa menempatkan diri dengan baik di tengah masyarakat," kata dia.
Meski demikian, dia belum dapat menentukan waktu pemanggilan terhadap Fredik untuk diklarifikasi.
Pasalnya Fredik masih menangani kasus Novel di persidangan.
Pihaknya pun masih harus menjalin komunikasi dengan internal kejaksaan terkait dengan informasi di media sosial itu.
"Kami juga perlu menanyakan ke pengawas internal kejaksaan apakah hal ini sudah ditindaklanjuti dan apakah sudah ada hasilnya," lanjutnya.
Di sisi lain Barita meminta publik tidak menggeneralisasi tindakan atau sikap satu orang jaksa sebagai cerminan satu institusi korps Adhyaksa tersebut.
Dia mengaku, selama ini masih banyak jaksa yang bertugas secara jujur, dan berdedikasi tinggi dalam menegakkan hukum.
"Bahkan ada oknum yang tidak seperti itu. Inilah yang perlu dibenahi dan dengan terbuka kami menerima info dan masukan masyarakat," kata pengawas kejaksaan ini.
Sementara itu Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Asfinawati mempertanyakan harta kekayaan milik Jaksa Fedrik tersebut.
Menurutnya, gaji seorang jaksa tidak mencapai miliaran rupiah dengan gaya hidup yang mewah.
Jika harta itu didapat dari bisnis, hal itu menurut Asfinawati tetap tidak patut karena seorang jaksa tidak diperkenankan merangkap sebagai pengusaha atau pebisnis sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU Nomor 16/2004.