Berita Semarang
Kisah Pilu SW, Anak Perempuan Dirudapaksa 3 Preman Semarang, Suami Kabur Bareng Pelakor
Dia menceritakan kisah anaknya yang menjadi korban pemerkosaan pada lima tahun lalu. Dia ingat betul kejadian itu terjadi saat tahun baru.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) mencatat serangkaian kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah, Rabu (25/11/2020).
Para korban dan keluarganya tentu mengalami trauma mendalam atas kejadian tersebut.
Seperti yang dialami SW warga Kota Semarang, merupakan Ibu dari korban pemerkosaan.
Dia menceritakan kisah anaknya yang menjadi korban pemerkosaan pada lima tahun lalu.
Dia ingat betul kejadian itu terjadi saat tahun baru.
Korban keluar rumah sendirian.
Ketika di jalan dia bertemu dengan seorang temannya yang mengajak ke suatu tempat berada di Meteseh, Kota Semarang.
Sesampai di tempat tersebut mereka dihampiri tiga orang pemuda.
Gerombolan pemuda tersebut menyuruh temannya untuk membeli minuman seorang diri dan meninggalkan korban.
Namun teman korban menolak yang berujung penganiyaan terhadapnya.
Bahkan tiga pemuda tersebut memukuli teman korban menggunakan genting.
Mendapat penganiyaan tersebut, teman korban lari ketakutan.
Setelah itu korban diseret oleh ketiga pemuda tersebut ke semak-samak dan terjadilah aksi pemerkosaan tersebut.
"Betapa terpukulnya saya atas kejadian biadab itu, apalagi saat itu suami saya juga kabur dibawa seorang pelakor," katanya dalam forum kesaksian korban yang diselenggarakan LRC-KJHAM.
SW lantas berupaya menempuh jalur hukum untuk menyeret para pelaku pemerkosa anaknya ke penjara.
Dia pun melaporkan kejadian itu ke Polrestabes Semarang.
Hampir bersamaan, setelah kejadian pemerkosaan itu ketiga pelaku di penjara namun berbeda dengan kasus tersebut.
Mereka bertiga dikenal sebagai preman kampung dan merupakan residivis berbagai kasus seperti penganiyaan dan kepemilikan senjata tajam.
"Alasan Kepolisan tidak menuntaskan kasus ini lantaran para pelaku residivis, kami harus menunggu mereka keluar dari penjara. Namun hingga kini tidak ada kelanjutan," bebernya.
Menurutnya, dirinya sudah berusaha maksimal namun tidak ada kejelasan dari Kepolisian.
Dia pun tidak dapat berbuat banyak dan memilih pasrah terhadap kasus tersebut.
Dia hanya berharap para pelaku pelecehan seksual kedepannya mendapat hukuman setimpal, kalau perlu hukuman mati.
"Tidak ada keadilan bagi anak saya, akan tetapi jangan bagi korban lain," paparnya.
Sementara korban pemerkosaan Nur (bukan nama sebenarnya) mengatakan, tepatnya pada 2018 saat dirinya berusia 16 tahun mendapat perlakuan kekerasan seksual hingga hamil.
Mendapat perlakuan tersebut, dia kehilangan semuanya mulai dari teman dan pendidikan.
Pasalnya saat itu dia dikeluarkan dari sekolah.
"Sekolah takut namanya tercemar sehingga saya dikeluarkan padahal saya ingin tetap melanjutkan sekolah saya yang saat itu masih kelas 2 SMA," ungkap warga Solo ini.
Nur juga harus memperjuangkan keadilan dengan membawa kasus kekerasan seksualnya yang dialaminya ke ranah hukum.
Dia harus bolak-balik ke kantor Polisi dan Pengadilan sembari mengurus anaknya yang masih bayi.
Setelah berbulan-bulan akhirnya pelaku dijebloskan ke penjara dengan hukuman selama tujuh tahun.
"Tuntutan hukuman selama 15 tahun namun vonis hanya 7 tahun. Jujur saya tidak puas dengan vonis tersebut.
Saya telah kehilangan semuanya dari pendidikan, teman dan lainnya.
Hukuman itu saya rasa tidak setimpal," ungkapnya.
Pendamping Korban dari LRC-KJHAM, Lenny Ristiyani mengaku, korban kekerasan seksual di Jawa Tengah dan para pendamping seringkali kesulitan dalam mengakses keadilan secara hukum.
Selain itu, dari lingkungan para korban juga kurang memahami kekerasan seksual yang dialami oleh korban sehingga memilih menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara kekeluargaan seperti menikahkan korban dengan pelaku.
"Begitupun dengan masyarakat yang seringkali melontarkan stigma atau label negatif kepada korban seperti dicap sebagai perempuan nakal," ujarnya.
(Iwn)