Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Solo

Kasus Pra Peradilan SP3 Polresta Solo, Guru Besar Hukum Pidana UGM: Ngawur

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Edward Omar Sharif Hiariej memberikan keterangan keahlian di Pengadilan Negeri (PN) Solo,

Penulis: Muhammad Sholekan | Editor: muh radlis
TRIBUN JATENG/MUHAMMAD SHOLEKAN
Guru Besar Hukum Pidana UGM, Prof Edward Omar Sharif Hiariej ketika menjadi ahli dalam persidangan kasus SP3 yang diajukan oleh Joenoes Rahardjo di PN Solo, Kamis (10/12/2020). 

TRIBUNJATENG.COM, SOLO - Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Edward Omar Sharif Hiariej memberikan keterangan keahlian di Pengadilan Negeri (PN) Solo, Rabu (10/12/2020).

Pria yang akrab disapa Eddy itu hadir di persidangan dalam kasus praperadilan yang diajukan warga Solo Joenoes Rahardjo atas SP3 yang dikeluarkan Satreskrim Polresta Solo.

Seperti diketahui, Joenoes melaporkan  adiknya dalam kasus sumpah palsu di persidangan pada 2018 lalu.

Baca juga: Sindiran Karni Ilyas ke Fadli Zon Bikin Tamu ILC Tertawa Keras

Baca juga: Keple Ditemukan Meninggal di Area Pasar Bulu Semarang Tadi Pagi, Ini Kesaksian Temannya

Baca juga: Pemkot Semarang Tunda Rencana Penutupan Jalan, Kadishub Beberkan Alasannya

Baca juga: Sosok Etik Suryani, Calon Bupati Sukoharjo yang Mantan Karyawati Bank, Teruskan Kepemimpinan Suami

Atas dasar itu, lalu Joenoes melaporkan adiknya ke Satreskrim Polresta Solo.

Namun, ketika proses sudah sampai penyidikan, Satreskrim Polresta Solo mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

"Sudah jelas itu (SP3, red) ngawur.

La wong sudah ada surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) kok dihentikan," ucapnya setelah memberikan keahlian.

Sementara, penasehat hukum Joenoes Rahardjo, Kardiansyah Azkar menyampaikan, sudah cukup bukti, namun dikeluarkan SP3.

"Jadi hal yang kontradiktif," ucapnya.

Dia menyampaikan, Prof Eddy, sebagai ahli dalam persidangan sudah menjelaskan mengenai hal itu.

"Meskipun tersangkanya belum ada, tapi perbuatan pidananya sudah ada. Jadi tidak bisa untuk dasar mengeluarkan SP3," jelasnya.

Dia menjelaskan, dalam Pasal 242 KUHP mengenai ancaman pidana memberikan sumpah palsu tidak perlu ada penetapan hakim.

"Ahli tadi juga sudah mencontohkan kasus tipikor, Miryam S Haryani yang memberikan keterangan palsu," terangnya.

Menurutnya, tidak perlu ada putusan hakim. Jadi, di persidangan sudah ada sumpah palsu, bisa langsung dilakukan penuntutan.

"Senin pekan depan nanti kita akan sampaikan kesimpulan. Setelah itu nanti putusan," ungkapnya.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved