Asal Muasal Pulau Setan di Kawasan Madeh Pesisir Selatan
Diceritakan bahwa dahulunya pulau ini adalah tempat favorit penguasa setempat untuk berlibur dan mengasingkan diri. Lalu lama kelamaan, pelafalan Pula
Penulis: Puspita Dewi | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUNJATENG.COM - Pulau Setan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kawasan Objek Wisata Mandeh Kecamatan Koto XI Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Mendengar namanya, orang mungkin akan berfikir jika Pulau Setan memiliki penampakan yang menyeramkan dan pernah terjadi tragedi yang menyeramkan.
Namun dilansir dari laman Indonesia.go.id pulau ini memiliki pemandangan bahari yang indah.
Asal-usul nama Pulau Setan
Dikutip dari laman wonderfulminangkabau,
pulau ini dahulunya bernama Pulau Sultan. Diceritakan bahwa dahulunya pulau ini adalah tempat favorit penguasa setempat untuk berlibur dan mengasingkan diri. Lalu lama kelamaan, pelafalan Pulau Sultan berubah menjadi Pulau Setan.
Saat ini , Pulau Setan menjadi salah satu surga wisata di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat, apalagi secara keseluruhan objek wisata Kawasan Mandeh memiliki gugusan dan kesamaan dengan pulau cantik seperti Raja Ampat.
Berbeda dengan Pulau Setan di Indonesia, Pulau Setan atau Devil Island di Perancis adalah penjara yan menakutkan.
Pulau Setan menjadi pulau penjara di Prancis antara tahun 1852-1953 dan terkenal dalam Peristiwa Dreyfus.
Devil's Island atau Pulau Iblis yang terletak di lepas pantai Guyana Prancis terdapat sebuah rumah tahanan Saint Laurent de Maroni yang kemudian menjadi koloni tahanan yang paling terkenal.
Dibangun oleh Kaisar Napoleon III dan beroperasi selama 1852-1946, selama hampir 100 tahun sekitar 70.000 narapidana dikirim ke sana, termasuk pelaku pembunuhan, pemerkosaan, dan tahanan politik.
Sebagain besar tahanan tidak pernah berhasil keluar dari pulau ini, diperkirakan 40 persen meninggal di tahun pertama, dan hanya 5000 yang selamat untuk menikmati kebebasan mereka.
Bahkan bagi tahanan, perjalanan menuju pulau itu saja sudah berbahaya, banyak yang tidak berhasil keluar kapal.
Beberapa tahanan berkelahi di dalam kurungan hingga saling membunuh selama perjalanan.
Tahanan yang menolak mematuhi perintah disiksa dengan uap.
Tahanan juga dipekerjakan dari jam 6 pagi hingga jam 6 malam, mereka mengerjakan pekerjaan berat seperti buruh bangunan, di sel, dan di rumah sakit.
Mereka tinggal di sel kecil dan kotor yang ukurannya hanya 1,8x2 meter.
Pada siang, hari para tahanan berjalan dengan rantai. Sedangkan saat malam kaki mereka dibelenggu ke sebuah batang besi yang panjang.
Mereka kelaparan dan beberapa sangat kurus hingga seperti kerangka berjalan. Tidak heran banyak yang hanya menunggu untuk mati saja.
Sering terjadi perkelahian di antara para tahanan yang berakhir dengan pembunuhan, namun sebagian besar tidak dihukum.
Ketika mereka akhirnya meninggal, tubuh mereka dimasukkan ke dalam gerobak dorong dan dibuang ke laut.
Banyak yang mencoba melarikan diri. Namun tewas di laut yang berbahaya di sekitar kepulauan tersebut, karena arus yang kuat dan keberadaan ikan hiu.
"Itu benar-benar neraka yang hidup, terutama bila Anda menyadari bahwa dari 70.000 pria, tiga perempat meninggal di sini karena penyakit, kelaparan, dan penganiayaan," kata petugas penjara Hermann Clarke dilansir dari news.com.
Pulau yang ditinggalkan ini telah direnovasi pada tahun 1980an, namun struktur aslinya tetap dipertahankan dan telah menjadi daya tarik wisata.
Penjara Guyana bahkan menginspirasi sebuah film berjudul Papillon yang pernah menduduki top box office.
(*)