Berita Regional
Kisah Peraih Kalpataru, Sarjana MIPA Ini Pilih Jadi Pemulung hingga Kecewakan Sang Ibu
Ia akhirnya nekat membuat keputusan ekstrem. Ia menjadi pemulung sampah di Saguling dan pinggir aliran Sungai Citarum.
Kemudian bagian sisa lainnya dibuat briket hingga pupuk organik cair.
Untuk kerajinan, ia memberdayakan para istri pemulung.
Mereka membuat tas, keranjang, sandal, tempat tissue, hingga gazebo, dari batang eceng gondok.
Harga jualnya berkisar Rp 25.000 sampai Rp 15 juta.
Meski harganya terbilang terjangkau, produk yang dihasilkan terbilang cantik, elegan, dan tahan lama.
Indra juga mengelola sampah dengan konsep yang sama. Bahkan ia membuat mesin pencacah sampah sendiri.
Kreativitas inilah yang mengantarkan Indra menjadi pembicara di berbagai tempat di Indonesia.
Sarjana jadi pemulung
Keberhasilan Indra mendirikan dan mengembangkan Bening Saguling Foundation tidak mudah.
Semua berawal pada 1998, saat Indonesia mengalami krisis moneter.
Saat itu, Indra yang baru lulus dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Padjadjaran (Unpad) memutuskan pulang ke kampung halaman.
Sama seperti lulusan lainnya, ia mencoba untuk melamar pekerjaan ke beberapa tempat.
Namun, lokasinya yang jauh dari kota, membuat jawaban surat lamaran Indra yang dikirim via pos baru sampai 2-3 bulan setelahnya.
Di sisi lain, Indra melihat kerusakan lingkungan yang luar biasa setelah sungai dibendung menjadi Waduk Saguling, di daerah tempat tinggalnya.
Mulai dari sampah, eceng gondok, hingga perubahan struktur masyarakat.