Berita Semarang
Konsorsium Ground Up Teliti Penyebab Banjir di Semarang, Ini Hasilnya
Konsorsium Ground Up yang terdiri dari akademisi dan kelompok masyarakat sipil, melakukan penelitian mengenai akses dan risiko terkait air.
Penulis: m zaenal arifin | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Konsorsium Ground Up yang terdiri dari akademisi dan kelompok masyarakat sipil, melakukan penelitian mengenai akses dan risiko terkait air di Kota Semarang.
Hasilnya, terdapat temuan yang relevan dengan banjir yang terjadi di Kota Semarang, beberapa hari yang lalu.
Konsorsium Ground Up terdiri para akademisi dari IHE Delft Institute for Water Education, University of Amsterdam, Universitas Gadjah Mada (UGM), Amrta Institute dan KruHA. Penelitian dilakukan sejak Oktober 2020 sampai Januari 2021.
Professor Tata Kelola Air pada University of Amsterdam dan IHE Delft Institute for Water Education, Prof. Margreet Zwarteveen mengatakan, penelitian dilakukan di enam lokasi yang ditentukan berdasarkan beberapa kriteria spesifik, yaitu zona air tanah (kritis, rentan dan aman), akses terhadap jaringan PDAM, risiko banjir dan amblesan tanah.
Baca juga: Yayasan Kesehatan Telogorejo Beri Bantuan Logistik Korban Banjir Semarang
Baca juga: Kerusakan Akibat Banjir Semarang Cukup Parah, DPU dan Disperkim Diminta Gerak Cepat Dalam Perbaikan
Baca juga: Jalan Kaligawe Masih Terendam Banjir Semarang, Arus Lalin Tersendat Sepanjang 500 Meter
Baca juga: UIN Walisongo Bantu Korban Banjir Semarang dan Demak
Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan 319 responden yang berada di 6 lokasi terpilih dan dilengkapi dengan observasi lapangan dan studi literatur.
"Temuan pertama yang relevan dengan banjir yang baru saja terjadi adalah ketergantungan Semarang yang besar pada air tanah untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari dengan persentase mencapai 79,7%," katanya, dalam press conference secara virtual, Selasa (16/2/2021).
Dari 79,7% tersebut, sebanyak 48,6% menggunakan air tanah dalam (ATDm) dan 31,1% menggunakan air tanah dangkal (ATDl).
Pemanfaatan ATDm dilakukan secara komunal yaitu melalui program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) yang diinisiasi oleh pemerintah dan kemudian pengelolaan sumur dilakukan oleh pengurus yang dibentuk di wilayah setempat dan yang sejak awal dikelola warga.
"Kami menemukan di wilayah yang sudah tersedia jaringan PDAM. Responden di lokasi tersebut menggunakan air tanah (ATDm) sebagai sumber air utama. Contohnya Pandean Lamper, Siwalan, Sambirejo, Karangtempel, Rejosari, Lamper Lor, Lamper Kidul dan Lamper Tengah," paparnya.
Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM Yogyakarta, Amalinda Savirani menambahkan, temuan lain yaitu PDAM sendiri masih menggunakan ATDm sebagai salah satu sumber air bakunya.
Ketergantungan pada air tanah relevan dengan pengelolaan banjir karena pengambilan air tanah yang berlebihan dari akuifer tertekan dapat menyebabkan terjadinya amblesan tanah (land subsidence), dan selanjutnya amblesan tanah berdampak pada peningkatan risiko banjir.
"Banjir yang dimaksud adalah banjir lokal akibat curah hujan di satu lokasi melebihi kapasitas sistem drainase yang ada dan banjir rob yang terjadi akibat aliran dari air pasang atau aliran balik dari saluran drainase akibat terhambat oleh air pasang," tambahnya.
Beberapa penyebab amblesan tanah selain pemanfaatan air tanah berlebihan adalah pembebanan bangunan, kompaksi (pemadatan) tanah aluvial, aktivitas tektonik dan pengerukan berkala yang dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas yang membuat sedimen di bawah Kota Semarang bergerak ke arah laut.
Penyedotan air tanah berlebihan biasanya menyebabkan terjadi amblesan tanah dalam skala luas sedangkan pembebanan bangunan menyebabkan amblesan yang lebih lokal.
"Temuan kedua yang relevan adalah mengenai tingkat dampak yang dirasakan warga yang tinggal di daerah dekat pantai yang makin tinggi," ucapnya.