Berita Semarang
LBH APIK Prihatin Praktik Perkawinan Anak di Semarang: Mayoritas Aduan Diselesaikan dengan Menikah
Sinetron itu menampilkan adegan tak pantas diperankan oleh perempuan berusia 15 tahun, yakni tokoh Zahra yang diperankan Lea Ciarachel.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: M Syofri Kurniawan
Hal itu karena aktivitas seksual harus ada persetujuan dari kedua belah pihak tanpa ada paksaan atau bujuk rayu.
Anak mungkin belum mengalami menstruasi, tidak memahami mengenai aktivitas seksual dan secara ketentuan hukum belum dapat memberikan persetujuan atau kesepakatan dalam melakukan peristiwa hukum.
"Sedangkan perkawinan termasuk peristiwa hukum yang harus mendapatkan kesepakatan atau persetujuan tanpa paksaan dari kedua belah pihak yang akan menikah," bebernya.
Dia melanjutkan, perkawinan anak juga sangat berisiko lebih besar terhadap kesehatan fisik anak antara lain risiko terkena kanker serviks, mengalami infeksi menular seksual.
Berikutnya risiko kematian ibu dan bayi saat proses persalinan, stunting, dan berisiko komplikasi kehamilan seperti anemia, hipertensi, dan lainnya yang berdampak kehamilan dapat mengalami keguguran.
"Perkawinan anak juga berpotensi terjadi kekerasan terhadap perempuan, yaitu anak perempuan rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) berupa fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga," kata dia.
Dia menyebut, Kota Semarang termasuk sebagai Kota Layak Anak (KLA) dengan mempunyai aturan tertulis yang sudah baik mengenai perlindungan terhadap anak.
Namun aturan tertulis secara bagus akan sia-sia jika para pihak yang berwenang kurang dalam melaksanakan di lapangan.
Dia berharap Pemerintah Kota Semarang sebagai Kota Layak Anak melakukan terobosan baru dengan bekerjasama dengan kantor kepolisian dan pengadilan terkait dengan perlindungan terhadap anak berhadapan dengan hukum.
Agar kantor kepolisian dan pengadilan di Kota Semarang sebagai lembaga negara dapat berperan menjadi agen perubahan pencegahan perkawinan anak.
Apalagi Kota Semarang sebagai Ibu Kota Jawa Tengah yang mana Jawa Tengah mempunyai program pencegahan perkawinan anak “Jo Kawin Bocah”.
"Dari upaya itu dapat menjadi sinergi gerak bersama melakukan langkah pencegahan perkawinan anak untuk mengurangi kekerasan terhadap anak dan tidak melanggengkan kekerasan seksual di Kota Semarang dan Jawa Tengah," tandasnya.
Sementara itu, berdasarkan data Kanwil Kemenag Provinsi Jateng, Tahun 2020 di Jateng terdapat 12.972 kasus.
Lima Kabupaten/Kota dengan perkawinan anak tertinggi meliputi Cilacap menempati posisi pertama dengan jumlah 1.019 kasus, Brebes 797,Banyumas 779, Pemalang 664, dan Grobogan 626.
Kota Semarang menempati posisi 15 dengan 360 kasus.