Berita Internasional
Saat Datang Bulan, Wanita di Tempat Ini Diasingkan ke Gubuk Menstrusi karena Dianggap Najis
Bila seorang pria menyentuh perempuan yang lagi mens, dia harus segera mandi karena dianggap "najis karena pergaulan."
Bangunan berbahan lumpur dan bambu dengan atap jerami itu tidak memiliki pintu atau jendela, sudah sangat tidak layak huni. Untuk bisa mandi dan mencuci baju, mereka harus pergi ke sungai yang jauh, sekitar satu kilometer.
Surekha Halami, 35 tahun, mengungkapkan selama musim panas, suhu begitu panas dan banyak nyamuk. Sedangkan di akhir tahun, dinginnya udara sangat menusuk tulang.
Selain itu, setiap hujan gubuk itu pasti bocor dan muncul genangan air di lantai. Terkadang tempat itu dihampiri anjing liar dan babi.
Sheetal Narote, 21 tahun, mengatakan saat harus tinggal sendiri di gubuk itu, dia pasti tidak bisa tidur karena takut. "Di dalam dan di luar gelap, saya ingin pulang tapi tidak punya pilihan."
Tetangganya yang berusia 45 tahun, Durpata Usendi, mengungkapkan 10 tahun lalu ada seorang perempuan berusia 21 tahun meninggal di gubuk itu setelah digigit ular.
"Kami terbangun saat lewat tengah malam saat dia lari dari gubuk sambil menangis dan menjerit. Para kerabatnya yang sesama peremuan mencoba menolong, dengan memberinya herbal dan obat-obat lokal.
"Para laki-laki, bahwa walau ada yang satu kerabat dengannya, cuma melihat dari jauh. Mereka tidak bisa menyentuhnya karena perempuan yang sedang haid dianggap najis. Saat racunnya sudah menjalar ke tubuh, dia hanya tergeletak kesakitan dan mati beberapa jam kemudian."
Melalui panggilan video, para perempuan menunjukkan pondok mereka yang baru - yang terbuat dari botol-botol plastik daur ulang yang dipenuhi pasir, dicat dengan warna merah cerah sedangkan tutup-tutup botol warna biru dan kuning menghiasi dinding.
Bangunan itu punya delapan tempat tidur dan "yang terpenting" - mereka sambil menunjuk - sudah ada kamar mandi dan pintu yang bisa mereka kunci.
Nicola Monterio dari lembaga KSWA mengungkapkan pondok baru itu berbiaya 650.000 rupee dan butuh dua setengah bulan untuk membangunnya. Lembaga itu juga telah membangun empat pondok serupa dan enam lagi akan didirikan pertengahan Juni ini di desa-desa sekitar.
Dilip Barsagade, presiden Sparsh, sebuah yayasan amal lokal yang telah terlibat dalam hal tersebut selama 15 tahun terakhir, mengatakan bahwa beberapa tahun lalu dia mengunjungi 223 gubuk menstruasi dan menemukan bahwa 98 persen "tidak bersih dan tidak aman."
Dari sekian anekdot dari para warga kampung yang dikunjungi, dia menyusun daftar "setidaknya 21 wanita yang meninggal saat tinggal di gubuk kurma karena alasan yang sama sekali tidak bisa dihindari."
"Seorang perempuan mati karena gigitan ular, yang lainnya karena dibawa beruang, sedangkan yang ketiga akibat demam yang tinggi," lanjut Barsagade.
Laporannya itu membuat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia India menginstruksikan pemerintah daerah setempat untuk "menghilangkan praktik tersebut" karena dipandang sebagai "pelanggaran berat atas hak asasi perempuan... atas keselamatan, kebersihan, dan martabat mereka." Namun beberapa tahun kemudian tradisi itu masih saja berlangsung.
Semua perempuan di Tukum - dan desa-desa di sekitarnya - mengaku tidak ingin ke gubuk menstruasi, karena fasilitasnya yang tidak layak membuat mereka marah. Namun mereka juga mengaku tidak berdaya untuk mengubah kebiasaan tradisi yang sudah mengakar selama ratusan tahun.