Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

OPINI

OPINI Ridwan : Kelangkaan Kontainer Ekspor

KONTAINER adalah sebuah bentuk revolusi industri di bidang pengangkutan barang melalui laut. Sebelumnya, barang yang jauh dari pelabuhan dimuat langsu

zoom-inlihat foto OPINI Ridwan : Kelangkaan Kontainer Ekspor
Tribun Jateng
Ridwan

Oleh Ridwan
Wadir 1 Politeknik Bumi Akpelni
Ketua INSA Semarang

KONTAINER adalah sebuah bentuk revolusi industri di bidang pengangkutan barang melalui laut. Sebelumnya, barang yang jauh dari pelabuhan dimuat langsung ke dalam palka kapal. Setelah ada kontainer, barang yang akan diekspor cukup dikemas dalam kotak besi/baja tersebut lalu dimuat ke dalam kapal.

Lebih praktis. Kontainer berstandar internasional ukuran 20 feet (6M) atau 40 feet (12M) yang praktis untuk diangkut ke gudang eksportir sebelum dimuat ke dalam kapal. Penggunaan kontainer untuk ekspor impor sudah berlangsung sejak puluhan tahun silam.

Sejak terjadi pandemi Covid-19 di dunia dan juga melanda Indonesia, berdampak pada kelangkaan petikemas atau kontainer yang akan digunakan untuk ekspor nonmigas ke Eropa dan Amerika.

Kelangkaan kontainer makin parah ketika negara-negara tujuan ekspor sedang lockdown. Dampak yang tampak, ada ribuan kontainer sampai di pelabuhan terpaksa menjadi "gudang sementara".

Sehingga perputaran kontainer yang biasa balancing (seimbang) antara masuk (in) dan keluar (out) tidak seimbang.

Akhirnya persediaan kontainer kosong di Indonesia makin sedikit. Kebutuhan kontainer untuk ekspor atau kirim barang ke luar negeri makin tidak tercukupi, sebagaimana telah dikeluhkan Apindo di Tribun Jateng, 21 Juli 2021.

Faktor utama penyebab kelangkaan kontainer adalah "congesti" atau kemacetan di berbagai pelabuhan international termasuk Singapura, terdampak kebijakan lockdown yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor.

Pusaran Global

Pengusaha jasa pengangkutan atau pengusaha pelayaran menyesuaikan dengan pola perdagangan dunia yang mengacu kepada efisiensi dan ketepatan waktu.

Kapal yang dahulu hanya bisa memuat/membongkar barang di pelabuhan, sekarang bagian ruangan kapal (palka=ruangan kapal) bisa dibagi-bagi dalam bentuk kontainer untuk dapat dimuati barang yang berada jauh dari pelabuhan.

Penyesuaian ini tentunya mengacu kepada prinsip pemasaran jasa pelayaran yaitu “ship follows the trade” artinya kapal akan mengikuti langkah dan gaya perdagangan.

Karena kontainer bagian yang tidak terpisahkan dari palka kapal, maka harus dijaga keseimbangan antara kontainer dibongkar dengan kontainer muat.

Setelah puluhan tahun in dan out terjaga keseimbangannya, maka saat pandemi ini terjadi kondisi tidak balancing. Timbul berbagai problem dalam system pengiriman barang, yaitu penundaan, pembatalan sampai dengan kenaikan freight yang tidak terkendalikan.

Berdasarkan data dari pemeringkat kapal-kapal internasional alphaliner, mengungkapkan bahwa per Juli 2021 jumlah kontainer yang beredar secara global sekitar 24,8 juta TEUS, dimana 77% diangkut oleh kapal-kapal 7 kelompok besar (Maersk 17%, MSC 16%, CMA/CGM 12%, COSCO 12%, Hapag 7,2%, ONE 6,4%, Evergreen 5,5%) dengan sebagian besarnya mempunyai rute Asia-Eropa, dan Asia-Amerika.

Sedangkan data dari berbagai pelabuhan-pelabuhan besar di Indonesia (Tg.Priok, Tg.Perak, Tg.Emas, Belawan) pada akhir tahun 2020 jumlah kontainer yang dibongkar/dimuat untuk kegiatan ekspor-impor sekitar 9 juta kontainer sebagian besar adalah untuk tujuan Eropa, Amerika, dan China.

Di sinilah posisi Indonesia dalam pusaran kontainer global, ketika terjadi lockdown akibat pandemic di USA atau Eropa pada Agustus/September 2020 maka kontainer yang sudah dikirimkan dari jauh hari sebelumnya akan tertahan untuk beberapa bulan berikutnya di negara negara tersebut. Sedangkan barang-barang dari Eropa atau Amerika yang seharusnya dikirim ke Indonesia juga mandek.

Pada saat yang bersamaan ekonomi China mulai bangkit kembali setelah mengalami lockdown awal 2020 sehingga barang-barang produksi China yang akan dikirimkan ke Eropa dan Amerika juga sudah semakin banyak.

Persaingan untuk mendapatkan kontainer kosong makin rumit. Dan konon China berani tarik kontainer kosong di Eropa dan Amerika dibawa ke China untuk tujuan pengiriman barang ekspor mereka.

Sedangkan di Indonesia pada saat yang bersamaan hanya menunggu datangnya kontainer yang berisi barang impor dari Eropa atau AS yang jumlahnya tidak sebanding dengan kebutuhan ekspor kita. Beberapa ide dimunculkan, membebaskan dengan segera kontainer impor yang lama tertahan di pelabuhan di Indonesia karena masalah penyelesaian kepabeanan, namum usaha ini tidak efektif karena ternyata jumlahnya hanya sedikit.

Kemudian dicoba tarik kontainer kosong dari luar negeri. Ternyata biaya sangat mahal. Dan hal itu berdampak pada produk ekspor Indonesia kalah saing di luar negeri.

Nah sejak awal tahun 2021 ekonomi Indonesia mulai menggeliat, produk ekspor makin banyak. Lagi-lagi kendalanya adalah terjadi kelangkaan kontainer. Kejadian kelangkaan kontainer akibat pandemic semacam ini sungguh diluar dugaan banyak orang termasuk dari kalangan pengusaha pelayaran sendiri.

Akhirnya pemilik kontainer terpaksa mengarahkan target pemasaran kepada market yang berani bayar mahal. Waktu tunggu yagn sebelumnya normal 1-2 hari, akhirnya bisa menjadi 10-16 hari. Akibatnya operasional cost kapal per hari bisa mencapai ratusan ribu US dollar yang terdiri dari biaya charter, bunker dan gaji crew kapal.

Solusi

Kelangkaan kontainer untuk ekspor tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Shipping line sebagai perusahaan pemberi jasa pengangkutan dengan kapal laut tentu tidak bisa ditekan untuk menyediakan kontainer yang cukup karena mereka sendiri juga sedang berjuang antara hidup dan mati.

Negara diminta hadir dalam hal ini, karena produk ekspor yang berhasil diekspor akan memberikan konstribusi yang tidak sedikit terhadap devisa negara. Belum lagi beberapa mata-rantai industry lainnya juga akan bergerak bila ekspor dapat dilakukan termasuk pendayagunaan SDM.

Pemerintah bisa melakukan charter kapal kontainer untuk mengangkut stok kontainer yang masih tertahan di berbagai pelabuhan di Eropa dan Amerika, diangkut ke pelabuhan di Indonesia yang membutuhkan, Pembicaraan bilateral Indonesia dengan negara pengimpor produk Indonesia harus didiskusikan lebih intens.

Berdasar data INSA, marketshare kapal-kapal berbendera Indonesia untuk pengangkutan laut international hanya sekitar 4% artinya 96% dikuasai oleh kapal-kapal asing. Dari 200an pelabuhan di Indonesia ternyata belum ada satupun yang bisa menjadi hub-port international sebagaimana Singapura dan Malaysia. Sehingga tak mungkin pelabuhan di Indonesia didatangi kapal mother vessel dan akibatnya semua barang ekspor/impor Indonesia harus dikapalkan melalui pelabuhan Singapura atau Malaysia (*)

Baca juga: OPINI DR Aji Sofanudin : Pusat Riset Pesantren

Baca juga: OPINI Tasroh : Awas Limbah Medis Covid-19

Baca juga: OPINI Haris Zaky Mubarak : PPKM dan Urgensi Ketahanan Sosial

Baca juga: OPINI Beni Setia : Sungai dan Kita

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved