Covid-19 Sebabkan Banyak Orang di Singapura Frustrasi dan Putus Asa

Singapura kembali memasuki pembatasan fase 2, yakni kategori Peringatan Tinggi sejak 22 Juli lalu hingga 18 Agustus.

Editor: Vito
KOMPAS.com/ ERICSSEN
ilustrasi - warga Singapura memakai masker di kawasan Orchard Road 

TRIBUNJATENG.COM, SINGAPURA - Alih-alih membuka pembatasan sosial dan mewacanakan hidup berdampingan dengan covid-19, Pemerintah Singapura baru-baru ini kembali memberlakukan sistem pembatasan secara lebih ketat untuk menekan angka penyebaran virus corona.

Namun, aturan itu ternyata telah membuat sebagian orang merasa frustrasi, putus asa, dan kecewa, di mana hal itu merupakan efek emosional dari kelelahan menghadapi pandemi.

Dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (5/8), seorang Psikiater di Nobel Psychological Wellness Clinic, Thong Jiunn Yew mengatakan, saat angka infeksi virus corona harian turun ke satu digit rendah, optimisme pun seketika muncul.

Orang-orang mulai merencanakan perjalanan, dan sektor bisnis mulai meningkatkan operasionalnya. Namun kemudian klaster besar covid-19 muncul, sehingga sistem pembatasan kembali diperketat.

"Perubahan seperti itu menyebabkan kekecewaan, dan orang mungkin merasa frustrasi dan tidak berdaya," paparnya.

"Mereka mungkin juga merasa hilang kendali, beberapa merasa bahwa bahkan dengan mematuhi aturan pun, klaster masih akan tetap muncul, dan jumlahnya (kasus-Red) terus meningkat," sambungnya.

Perlu diketahui, Singapura kembali memasuki pembatasan fase 2, yakni kategori Peringatan Tinggi sejak 22 Juli lalu hingga 18 Agustus. Hal itu terjadi setelah munculnya klaster Pelabuhan Perikanan Jurong yang menjadi klaster aktif terbesar di negara itu, dengan catatan 1.097 kasus pada Selasa (3/8) lalu.

Singapura sebelumnya juga mencatat kluster karaoke plus-plus dan sistem transportasi perkotaan di mana covid-19 menginfeksi para sopir bus.

Thong menekankan, banyak orang yang mungkin akhirnya merasa tidak yakin dengan masa depan mereka dan langkah selanjutnya yang harus diambil di tengah pandemi covid-19 yang tak kunjung usai.

"Saya melihat ini terjadi pada banyak pasien yang tidak dapat memutuskan rencana pendidikan atau karir yang akan mereka ambil," terangnya.

"Ketidakpastian ini telah menyebabkan kecemasan yang signifikan. Pada individu dengan gangguan kecemasan, perubahan ini bahkan meningkatkan ketakutan dan kecemasan," tambahnya. (Tribunnews)

Sumber: Tribunnews.com
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved