Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Semarang

Omzet Perajin dan Pedagang Batik di Semarang Anjlok 80 Persen, Desak Pemerintah Bantu Mempromosikan

Sejumlah perajin dan pedagang batik di Semarang merasan semakin berat menjalankan usaha. Selama pandemi, omzet semakin menurun tajam.

Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: moh anhar

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pandemi Covid-19 yang disusul dengan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) memberikan dampak signifikan bagi para perajin dan pedagang batik di Kota Semarang.

Diakui sejumlah perajin dan pedagang batik, dampak dirasakan semakin berat terutama pada omzet yang semakin menurun tajam.

Hal itu di antaranya diakui Iin, satu perajin batik di Kampung Batik Semarang. Iin mengungkapkan, sejak pandemi Covid-19 menerpa hingga adanya kebijakan PPKM ini, penurunan omzet usahanya anjlok hingga 80 persen.

Baca juga: Suara Genteng Jatuh dan Letupan Bangunkan Ichwan, Kaget Rumahnya Terbakar

Baca juga: Gubernur Ganjar Pranowo: Terapkan Prokes, Pasar Pagi Kaliwungu Bisa Direplikasi Pasar Lain di Jateng

Baca juga: Pemerintah Kota Tegal Kehabisan Stok Vaksin Sinovac, Wali Kota Dedy Yon: Kami Masih Tunggu Kiriman

"Dampak yang kami rasakan sangat besar. Penurunan omzet 80 persen lebih. Dulu satu bulan omzet bisa sampai Rp 35 juta per/bulan, sekarang Rp 4 juta itu pun 'ngos-ngosan'," keluh Iin saat ditemui tribunjateng.com, Senin (9/8/2021).

Iin mengungkapkan, para perajin di Kampung Batik Semarang sendiri sebagian besar mengandalkan para wisatawan yang masuk ke Kota Semarang untuk kemudian mampir ke kampung batik membeli oleh-oleh.

Namun sejak tahun 2020 lalu seiring dengan dibuka-tutupnya PPKM,  menurutnya, para perajin dan pedagang kesulitan dalam memasarkan produk sebab tidak adanya wisatawan yang berkunjung ke Kota Lumpia tersebut.

Di samping itu, kata dia, pihaknya yang semula juga mengandalkan instansi-instansi yang memesan batik untuk seragam, kini pun mendadak sepi pesanan.

"Kebanyakan dulu itu pesanan dari Pemkot, ada dari BUMN, ini tidak ada. Jadi dampaknya besar sekali, kami kesulitan menjual batik," jelasnya.

Menurut Iin, beberapa upaya sebelumnya sempat dilakukan agar usaha bisa bertahan di tengah pandemi ini seperti memproduksi masker batik dan mengisi kegiatan pelatihan.

Namun kata dia, seiring dengan menjamurnya usaha masker dan pembatasan untuk berkerumun, upaya tersebut kini dihentikan.

Menurutnya, dirinya kini hanya mengandalkan penjualan batik melalui aplikasi WhatsApp dengan menawarkan produk di lingkup pertemanan.

"Penjualan secara daring hanya kami lakukan melalui WhatsApp, itu saja dan hanya bisa membantu agar usaha tetap bertahan. Kalau marketplace dan platform-platform digital belum. Sedangkan upaya lain, kami berikan promo batik tulis dengan harga Rp 150 ribu," ungkapnya.

Iin berharap, pemerintah bisa memberikan solusi terkait pemasaran batik di Kota Semarang ini. Sebab, menurutnya, kepedulian yang dibutuhkan bukan sekadar modal tetapi yang terpenting adalah pemasaran produk.

"Yang dibutuhkan juga bagaimana cara memasarkan. Sudah hampir 2 tahun kami di posisi seperti ini, sulit menjual sedangkan kami juga harus menghidupi keluarga dan tenaga kerja. Untuk PPKM ini kalaupun dilanjutkan, keinginan kami ya tolong perajin diperhatikan, apalagi ini adalah suatu budaya yang harus dilestarikan," imbuhnya.

Anjloknya omzet penjualan batik juga diakui Rini Sari Handayani.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved