Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

OPINI

OPINI Muhammad Itsbatun Najih : Hijrah dan Keberagamaan Inklusif

MELALUI survei bertajuk ”The Global God Devide”, Pew Reserch Center (2020) merilis hasilnya yang boleh dibilang tidak mengejutkan.

Tribun Jateng
Muhammad Itsbatun Najih 

Teringat ulama kharismatik, KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam sebuah ceramahnya, menyinggung relevansi kuantitas dan kualitas umat.

Tamsilannya: apakah jumlah kaum muslim Indonesia hingga jutaan itu, memiliki kecakapan mendalam pula terhadap agamanya? Seberapa prosentase umat Islam yang benar-benar mampu membaca Alquran, memahaminya, hingga melaksakan ajarannya?

Ceramah Gus Mus di Krapyak, Yogyakarta, sekira sepuluh tahun lalu itu, seolah-olah mengkritik untuk tidak berbangga kuantitas dan atributif luaran dalam beragama; sembari mendorong “berhijrah” dengan kembali memperbaiki laku dan pemahaman kesalehan ritual yang tak kalah pentingnya dalam praktik keberagamaan.

Pun, kedermawanan dan keramahan sebagai bentuk kesalehan sosial malah berbanding lurus dengan polarisasi sosial hari ini. Politik identitas membuncah dan mengoyak kohesi sosial.

Interaksi di media sosial begitu mencemaskan dengan caci maki, fitnah, hasutan. Dan, kembali ke petuah Gus Mus untuk menilik-memahami Alquran—sebagai bentuk saleh ritual; ada kontekstualisasi pesan luhur dari peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dengan problem sosial kita hari ini.

Rumah bersama

Yakni, pada Surat Alhasyr ayat ke sembilan. Terkandung ada dua kelompok: Muhajirin dan Anshar. Keduanya berbeda suku tetapi akhirnya bersatu; bersaudara seagama. Bersama Nabi Saw, keduanya membangun Madinah sebagai rumah bersama.

Namun, oleh Nabi SAW Madinah juga menjadi rumah bersama untuk penganut Kristen, Yahudi, dan kaum pagan. Madinah dibangun semua komponen masyarakat hingga menjadi tamsil-referensi kehidupan ideal berbangsa-bernegara hingga hari ini.

Madinah mirip Indonesia berkait identitas primordial; pun dengan problem yang dihadapi saat ini: polarisasi sosial. Karena itu, kita lekas perlu berhijrah. Hijrah yang tidak sekadar berarti “berpindah tempat” atau “menuju” dari keburukan kepada kesalehan.

Melainkan bisa diartikan “kembali”. Kembali meneladani keterbukaan dan keramahan kaum Anshar. Kembali mencontoh komitmen persatuan para pendiri bangsa ini saat memperjuangkan kemerdekaan. Kembali kepada keberagamaan otentik. Wallahu a’lam. (*)

Baca juga: OPINI : Beban Psikologis Napi yang Bebas di Tengah Pandemi

Baca juga: OPINI LILIK ROHMAWATI : Prank Hibah Rp Triliun dan Kesadaran Keuangan Masyarakat

Baca juga: OPINI DR Andi Purwono :Tantangan Diplomasi ASEAN

Baca juga: OPINI DR Aji Sofanudin : Pusat Riset Pesantren

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved