OPINI
OPINI Paulus Mujiran : Dilema TNI/Polri Menjabat Kepala Daerah
WACANA pengisian posisi kepala daerah untuk pemerintah daerah yang akan habis masa jabatannya dari unsur TNI/Polri sebelum Pilkada serentak 2024
Oleh Paulus Mujiran
Alumnus Pascasarjana Undip
WACANA pengisian posisi kepala daerah untuk pemerintah daerah yang akan habis masa jabatannya dari unsur TNI/Polri sebelum Pilkada serentak 2024 menuai polemik.
Wacana yang dikemukakan Kemendagri adalah potensi kursi penjabat kepala daerah diisi oleh TNI/Polri aktif. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang lowong pemerintah berencana menunjuk penjabat kepala daerah.
Secara konseptual untuk jabatan gubernur akan diduduki oleh jabatan pimpinan tinggi madya, sementara untuk jabatan bupati/walikota diisi oleh pimpinan tinggi pratama.
Pasal 201 UU No 10 Tahun 2016 dalam penjelasannya hanya disebut penjabat gubernur, penjabat bupati dan penjabat walikota masa jabatannya 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun dengan orang yang sama/berbeda. Sebenarnya bukan kali ini saja TNI/Polri aktif ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah.
Tahun 2018 terdapat 2 jenderal aktif yang ditunjuk sebagai penjabat kepala daerah yakni Komjen (Purn) Mochamad Iriawan dan Irjen (Purn) Martuani Sormin. Iriawan yang saat itu menjadi Asisten Operasi Kapolri ditunjuk menjadi Plt Gubernur Jawa Barat, dan Martuani Sormin menjadi Plt Gubernur Sumatera Utara.
Jika ditarik ke belakang juga ada nama Irjen Carlo Brix Teewu Pjs Gubernur Sulawesi Barat (Desember 2016-Januari 2017), Mayjen Soedarmo sebagai Plt Gubernur Aceh (Oktober 2016), lalu Mayjen TNI Achmad Tanribali Lamo penjabat Gubernur Sulawesi Selatan (Januari 2008).
272 daerah
Pada periode 2022-2024 terdapat 272 posisi kepala daerah yang kosong. Diantaranya 7 provinsi, 18 kota, 76 kabupaten hasil Pilkada 2017 dan masa jabatan mereka akan selesai 2022. Sementara dari Pilkada 2018 terdapat 17 provinsi, 39 kota, 115 kabupaten yang masa jabatannya akan selesai pada 2023. Total ada 272 daerah yang menjalankan Pilkada 2024 dan ditunjuk penjabat kepala daerah.
Karena pengalaman yang dimilikinya TNI/Polri aktif berpeluang menduduki jabatan tersebut. Namun penunjukan ini mengandung dilema. Penunjukan penjabat kepala daerah dari TNI/Polri rawan kepentingan politik praktis. Sulit bagi aparat itu untuk benar-benar netral dari godaan kekuasaan. Baik TNI/Polri harus mengambil jarak dengan kekuasaan bukan justru ditarik-tarik untuk kembali berpolitik.
Polri harus menunjukkan dirinya berjarak dari aktivitas politik karena tugas utamanya melakukan pengamanan dan memastikan tak ada perbuatan melawan hukum. Sementara TNI memastikan tak ada upaya merongrong kedaulatan negara. Masalahnya kini sulit bagi publik memandang obyektif peran TNI/Polri ini.
Sulit juga bagi pemerintah untuk tidak menarik TNI/Polri guna mengamankan kepentingan kekuasaan. Di masa lalu khususnya awal reformasi TNI/Polri cenderung bersikap hati-hati dan berjarak dengan dinamika politik. Hal itu wajar karena pengalaman traumatis selama 32 tahun Orde Baru ketika TNI/Polri secara aktif ambil bagian dalam kancah politik praktis.
Namun kini ironisnya respon publik cenderung melemah terkait wacana pelibatan TNI/Polri dalam kancah politik. Mengundang pertanyaan apa motif pelibatan mereka? Apakah tak ada pejabat sipil untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut? Dalam hemat penulis, pemerintah tak boleh memaksakan penggunaan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah.
Sebab jabatan kedudukan penjabat kepala daerah bukan sekadar jabatan pimpinan tinggi (eselon 1 dan 2). Mereka setara dengan kepala daerah definitif. Dengan demikian harus diangkat penjabat sipil yang berpengalaman menduduki jabatan itu.
Jika alasannya adalah kerawanan di tahun politik jelang 2024 bukankah terdapat fungsi pembinaan teritorial TNI dan pembinaan Kambtibmas Polri untuk mencegah dan mengantisipasi kerawanan.
Ancam demokrasi
Pengembalian jabatan TNI/Polri mengancam demokrasi bahkan dapat dituduh pemerintah tengah berupaya memulihkan konsep dwifungsi ABRI pada era Orde Baru. Apalagi sebelumnya sejumlah TNI/Polri aktif sudah ditunjuk duduk dalam jabatan sipil baik di kementerian maupun lembaga.
Penunjukan ini juga dapat memicu relasi tidak harmonis antara legislatif dan eksekutif karena penjabat kepala daerah ditunjuk oleh pemerintah pusat bukan melalui mekanisme politik DPRD.
Negeri ini sudah jauh melangkah, mengembalikan TNI/Polri ke barak. Jangan hanya gara-gara ada Pemilu 2024 menarik kembali TNI/Polri dan membatasi aparatur sipil yang memenuhi syarat untuk menjadi penjabat kepala daerah. Pemerintah semestinya belajar dari tumbangnya rezim Orde Baru bangunan kekuasaan yang ditopang dwifungsi ABRI cenderung represif amat rentan bagi demokrasi. Pemanggilan kembali TNI/Polri mengancam demokrasi.
Sulit diingkari pendekatan keamanan sebagai alat kekuasaan terbukti melecehkan supremasi sipil. Khittah TNI/Polri adalah menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan. Mereka sudah melaksakan fungsi itu dengan cukup profesional jangan lagi diusik untuk politik praktis. Juga ada kemungkinan para penjabat kepala daerah yang berasal dari TNI/Polri cenderung dipilih karena dilirik partai politik selama menjabat kepala daerah.
Ancaman kerawanan Pemilu serentak 2024 tidak seyogyanya dengan mengaktifkan kembali TNI/Polri dalam kancah politik. Karena itu kehendak untuk memanggil kembali tentara dan polisi dalam jabatan sipil harus ditolak.
Lagipula, alasan yuridis dihapuskannya peran sosial politik angkatan bersenjata dalam kehidupan sipil termaktub dalam TAP MPR No VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, yang dikatakan peran sosial politik dalam dwifungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI/Polri yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Polri menegaskan anggota TNI/Polri dilarang menduduki jabatan sipil atau jabatan di luar instansinya kecuali telah mengundurkan diri atau pensiun. Karena itu kehendak mengisi kekosongan sementara sebagai penjabat kepala daerah adalah ahistoris dan tidak bijaksana. (*)
Baca juga: Cara Membuat Donat Tanpa Kentang Tetap Empuk
Baca juga: Hotline Semarang : Pasar Bulu Semarang akan Dibuat Seperti Apa?
Baca juga: Ibu Tak Sanggup Bayar Biaya Persalinan, Bayi Dijual Dukun Beranak
Baca juga: Fokus : Mangrove dan Penyelamatan Bumi