OPINI
OPINI Nanang Qosim : Membaca Esensi Agama Lewat Kisah Nabi
PERINGATAN maulid Nabi Muhammad SAW mempunyai arti penting bagi kita semua. Bulan yang mafhum dengan sebutan Rabi‘ul Awwal itu menjadi fragmen waktu
oleh Nanang Qosim
Dosen UIN Walisongo Semarang
PERINGATAN maulid Nabi Muhammad SAW mempunyai arti penting bagi kita semua. Bulan yang mafhum dengan sebutan Rabi‘ul Awwal itu menjadi fragmen waktu yang menandai tonggak kebermulaan Islam di jazirah Arab. Kelahiran Muhammad, seorang nabi sekaligus juruwarta Tuhan, babak awal bagi tegaknya Islam sebagai agama tauhid, meski embrionya sudah terpumpun sejak kerasulan Ibrahim.
Salah satu bentukta‘dhim(penghormatan), jamak umat muslim di Indonesia merayakan peringatan hari lahir nabi dengan membaca kisah nabi (sirah nabawiyyah) sebagaimana akrab disebut muludan atau barzanji. Lazimnya ritual keagamaan lainnya, peringatan Maulid Nabi menjadi "waktu senggang" bagi muslim untuk merefleksikan hubungan antara dirinya dengan agama yang dianutnya.
Ritual memang kerap tampak sebagai festival dan ingar-bingar yang sarat kesibukan fisik maupun materi, tetapi perannya sangat fundamental sebagai momentum bagi manusia mengenangkan sejarah spiritualitas di dalam agamanya, sekaligus memperbaruinya. Ritual semacam maulid nabi juga eksis beserta fungsi kohesi sosialnya di dalam masyarakat muslim.
Pengenangan sejarah spiritualitas memungkinkan seseorang memperbarui hubungan antara diri dengan agamanya. Ritual mewujud dalam lakon kreatif yang bersifat kolektif guna "melanggengkan" peristiwa-peristiwa spiritual seraya meleburkannya ke dalam ruang-waktu kekinian. Peristiwa atau sejarah menjadi jembatan penghubung manusia lintas generasi dengan eksistensi atau makna agamanya.
Kisah ke Risalah
Maulid Nabi patut dirayakan sebagai agenda membaca esensi agama lewat kisah Nabi. Kisah merupakan elemen penting suatu agama--meski kisah acap tak terlacak faktualitasnya sehingga menjadi mitologi. Risalah agama Islam, sebagaimana agama-agama Ibrahimi lainnya, tidak lepas dari sokongan kisah.
Menelisik Alquran sebagian besar berisi sejarah atau kisah-kisah (qashash al-qur‘an), selain risalah tauhid dan janji kehidupan masa depan. Jalinan kisah di dalam Alquran menghubungkan mata rantai risalah ilahiah (tauhid) yang berkesinambungan dari satu nabi ke nabi berikutnya.
Pun kisah-kisah nabi selalu menggambarkan misi profetik rasul yang selalu berpaut dengan agenda perubahan sosial agar kehidupan umatnya menjadi lebih wanusiawi dan beradab. Beragam kisah nabi dialamatkan Alquran sebagai pelajaran (hikmah) dan peringatan-ancaman (nadzir).
Kisah menjadi "strategi bahasa" kitab suci untuk membungkus pesan-pesan yang disiratkan. Kisah diolah ke dalam struktur narasi melalui sudut pandang tertentu yang meniscayakan pembaca menemukan suatu makna dari jarak tertentu pula. Kisah-kisah di dalam kitab suci menggugah minat dan gairah manusia karena disampaikan dengan gaya bahasa (stilistika) yang khas dan mempertimbangkan kaidah keindahan (estetika). Kisah dibentukkan ke dalam struktur bahasa guna "mengabadikan" pesan-makna universal yang mampu melampaui berbagai kurun zaman.
Pandangan tentang peran kisah di dalam agama tersebut mengabsahkan kita untuk membaca makna risalah Islam dari kisah Nabi Muhammad. Kitab yang lazim dibaca dalam ritual muludan di Indonesia adalahMaulid al-Barzanji,Maulid ad-Diba‘y, danQasidah Burdah.
Buku-buku tersebut tidak sekadar memanjangkan puji-pujian yang mengagungkan nabi, tetapi juga memuat biografi kerasulan Muhammad. Biografi kerasulan itu mencakup riwayat personal nabi, perjuangan menyiarkan risalah tauhid serta pemulihan moralitas masyarakat di jazirah Arab, isra mikraj, hijrah, dan sebagainya. Buku-buku tersebut menggabungkannatsar(prosa) dengan sya‘ir (puisi) untuk mengemas kisah dan pujian.
Di tengah pesimisme masyarakat terhadap agama yang kerap dipandang sebagai biang teror, permusuhan dan kekerasan, kesejatian makna agama yang damai dan selamat bisa diusut dari narasi-narasi kehidupan nabi.Maulid al-Barzanjikarangan Syaikh Ja‘far al-Barzanji, misalnya, mengisahkan peristiwa perselisihan di antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak mengangkat hajar aswad ketika merenovasi Ka‘bah.
Nabi Muhammad dengan arif meletakkan hajar aswad di selembar kain, kemudian meminta semua kabilah mengangkat dan meletakkannya ke tempatnya. Demikian lantas mencirikan karakteristik kepemimpinan Nabi yang mengedepankan prinsip kesetaraan, keadilan dan kedamaian dalam memecahkan perkara sosial.