Hari Santri
OPINI Asmu'i Syarkowi : Hari Santri adalah Hari Kita Semua
ENAM tahun lalu atau tepatnya 15 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo meneken sebuah Keputusan Presidan (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015
Oleh Drs H Asmu'i Syarkowi, MH
Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I A
ENAM tahun lalu atau tepatnya 15 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo meneken sebuah Keputusan Presidan (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015. Dengan kepres ini setiap tanggal 22 Oktober diperingati hari santri secara nasional. Ada beberapa alasan mengapa Kepres ini lahir.
Menurut M. ZAENI RAHMAN sebagaimana hasil penelitiannya, ada empat maksud utama munculnya keputusan tentang hari santri. Pertama, hubungan santri dan nasionalisme. Hubungan antara santri dan nasionalisme dalam sejarah merujuk pada peran serta kontribusi para Kyai dan Santri (pesantren) dalam upaya mempertahankan kemerdekaan atas Belanda (NICA) yang kemudian dituangkan dalam sebuah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Kedua, bagian dari komunikasi politik.
Merujuk pada fakta bahwa Keppres Hari Santri muncul berawal dari proses komunikasi antara Jokowi dagan salah satu tokoh NU, KH. Thariq Darwis (Malang) ketika masa kampanye. Ketiga, penguatan identitas santri. Keppers tentang Hari Santri muncul sebagai sebuah pengakuan identitas terhadap kaum Santri. Keempat, Hari Santri sebagai sebuah simbol umat Islam khususnya Pesantren. Dalam penetapanya, Keppres Tentang Hari Santri merujuk pada alasan sejarah yang tercantum dalam isi Keppres No. 22 Tahun 2015.
Diterbitkannya Keppres tersebut merupakan jawaban akhir Negara sekaligus mengakhiri polemik bernuansa pro kontra wacana yang berkembang sebelumnya, bahkan antar sesama Islam sendiri. Pertanyaan yang sampai belum terjawab adalah, untuk siapa hari santri ditetapkan? Jawaban atas pertanyaan ini penting, khususnya agar semua berfikir dan hari santri yang diperingati setiap tahun ini tidak kehilangan ruhnya dan tetap relevan sepanjang zaman.
Jawaban itu juga penting agar yang semula kontra pada akhirnya legowo dan bahkan justru mengambil hikmah. Jika santri selalu dikonotasikan sebagai Islam, pada Negara yang multi agama ini, jawaban pertanyan itu juga penting bagi non muslim.
Pada akhirnya, semua hari-hari besar apapun namanya, dalam konteks Negara yang berpenduduk hiterogen ini tetap menjadi milik bersama dengan menghilangkan primordialisme akibat pemikiran sempit berdasarkan golongan, suku, ras, dan agama.
Hari santri pada mulanya memang bertonggak dari sebuah pertistiwa sejarah yaitu ketika Presiden Soekarno ‘sowan’ ke pesantren Tebuireng Jombang pada tanggal 10 Oktober 1945 atau sekitar 2 bulan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Resolusi jihad
Kepada Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari beliau menyampaikan keresahannya atas kadatangan tentara sekutu di bawah komando Inggris. Yang menjadi masalah bukan kedatangan Inggrisnya, tetapi karena di belakang tentara sekutu membonceng NICA yang tidak lain adalah orang-orang Belanda.
Dalih kedatangan sekutu ialah untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang, setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu pascaluluh lantaknya 2 kota ternama Nagasaki dan Hirosima oleh bom atom Amerika Serikat. Sang Proklamator sangat sadar, bahwa betapa potensi ummat Islam, khususnya di Jawa waktu itu luar biasa besar dan figure kakek Gus Dur ini yang juga sangat berpengaruh.
Akhirnya, seperti yang disebutkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah, dalam Rapat Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 mengajukan 'Resolusi Jihad' pada Pemerintah Republik Indonesia yang pada pokoknya berisi dua agenda pening.
Pertama, memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannya.
Kedua, supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat 'sabilillah' untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam. Efeknya luar biasa. NU kemudian menggelorakan semangat jihad di kalangan umat Islam waktu itu. Para ulama, pemuda serta Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia yang dipimpin Bung Tomo, kemudian berinisiatif membentuk organisasi kesenjataan untuk mendapatkan persenjataan dari bala tentara Jepang.
Sebagaimana diungkapkan sejarawan Suryanegara, waktu itu markas-markas Jepang di Bandung, Garut, Surakarta, Yogyakarta, dan Semarang diserang oleh rakyat Indonesia. Persenjataan-persenjataan itu kemudian digunakan melawan Sekutu dan NICA. Bahkan Laksamana Shibata Yaichiro, seorang panglima senior Jepang yang memihak kepada Republik Indonesia lebih memilih membukakan pintu gudang persenjataan Jepang kepada para pemuda Indonesia.