Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Hari Santri

OPINI Asmu'i Syarkowi : Hari Santri adalah Hari Kita Semua

ENAM tahun lalu atau tepatnya 15 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo meneken sebuah Keputusan Presidan (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015

TRIBUN JATENG/DESTA LEILA KARTIKA
Hari Santri Nasional 

Meskipun pada akhirnya, Laksamana Shibata Yaichiro menyerah ke Belanda namun sebelumnya telah meminta pasukannya untuk menyerahkan semua senjata ke rakyat Indonesia.

Tentara Sekutu pun lantas meminta rakyat Indonesia agar menyerahkan seluruh senjata itu kepada pihak Sekutu. Akan tetapi, perintah itu, oleh Barisan Pemberontak Rakyat yang dipimin Bung Tomo tidak digubris.

Pertempuran dahsyat

Pertempuran hebat pun kemudian terjadi. Tidak di sangka para santri--yang dalam kesaharian lugu itu-- bisa sangat patriotik bersama seluruh elmen masyarakat yang anti penjajah bertempur habis-habisan melawan kolonial. Dengan doktrin “hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman)” para santri sangat yakin bahwa perang mempertahankan tanah air dari penjajah merupakan perang suci (jihad).

Dalam tradisi keilmuan pesantren mati karena jihad merupakan kematian paling mulia. Tahu akan semangat dan kondisi keyakinan santri dan rakyat yang demikianlah, Bung Tomo pun dengan mantap terus memekikkan kalimat : “Allahu Akbar, merdeka atau mati.”. Sekali lagi semangat yang menggelorakan pertempuran dahsyat itu timbul setelah adanya resolusi jihad. Selanjutnya, pertempuran itu pun memang diikuti oleh seluruh pesantren di seluruh pelosok tanah air.

Dengan mengaca fenomena historis di atas penetapan Hari Santri yang diperingati secara nasional memiliki akar sejarah yang kuat. Akar sejarah itu ialah pertama, pentingnya soliditas antara pemimpin politik dengan tokoh informal.

Pemimpin tidak dapat berbuat banyak ketika tidak mendapat dukungan tokoh informal yang biasanya mempunyai masa riil. Sebaliknya, seorang tokoh informal juga tidak bisa ‘mengamankan’ umat jika tidak mendapat dukungan politik dari pemimpin politik.

Kedua, bahwa kepentingan negara adalah di atas kepentingan golongan. Sebagai tokoh sekaliber Soekarno, jauh-jauh dari Jakarta mau datang ke Jombang yang masih ‘pelosok’ itu untuk sungkem sekaligus meminta pendapat dan dukungan. KH Hasyim yang mempunyai santri ribuan mau duduk bersama memikirkan nasib bangsa yang sedang mendapat ancaman musuh.

Ketiga pentingnya tetap menjunjung tingga kekuatan rakyat dalam menghadapi setiap ancaman. Para tokoh politik perlu menyadari hal demikian. Mereka tidak boleh mengabaikan rakyat karena pada hakikatnya suara rakyat adalah suara Tuhan. Ketika, para pemimipin politik mendekati sang tokoh informal karena memiliki massa. Ukuran keberhasilan seorang pemimpin politik mendekati tokoh, pada akhirnya masa sendiri itulah yang akan menentulan.

Dengan menyadari 3 hal di atas mengklaim bahwa peringatan hari santri hanya kepentingan umat Islam apalagi dipahami secara sempit hanya milik NU (sekalipun semula harus diakui sebagai jasa Kiai-kiai NU) dalam konteks berbangsa dan bernegara, merupakan pikiran yang kurang relevan lagi. Anggapan demikian hanya akan membuat semua peringatan hari-hari besar akan ikut tereduksi hanya bernilai rutinitas tahunan.

Dengan berfikir kontekstual kita diharapkan mampu melihat esensi dari pada sekedar simbol. Hari Kartini memang diambil dari hari kelahiran seorang anak bupati Jepara bernama Raden Ajeng Kartini. Tetapi apakah kita boleh mengabaikan peran tokoh wanita lain, serti Dewi sartika, Tjut Nya’ Din, atau sejumlah tokoh wanita pejuang lainnya.

Hari Pahlawan memang diperingati berdasarkan peringatan terhadap peristiwa heroik pada pertempuran yang terjadi 10 November 1945 di Surabaya. Akan tetapi, bukan berarti harus dipahami bahwa penghargaan terhadap perjuangan arek-arek Surabaya, mengabaikan sejarah pertempuran-pertempuran lain di belahan tanah air.

Makna universal

Tetapi, sebuah peringatan biasanya memang harus mengambil simbol tertentu yang karena peristiwa kesejarahan harus mengambil satu peristiwa yang dianggap menumental. Tentu tanpa harus dengan mengecilkan peran peristiwa sejarah lainnya. Intinya, ada makna universal yang dapat dipetik dari peristiwa sejarah yang melatarbelakangi pada peringatan hari santri yang berlaku secara nasional ini.

Cara berfikir demikian, tampaknya harus terus dikembangkan dalam setiap even peringatan hari nasional, termasuk peringatan hari santri ini. Kalau cara berfikir demikian kita sepakati, maka hari santri sejatinya adalah juga hari kita semuanya. Mengapa tidak diliburkan? Tentunya, bukan ranah tulisan ini untuk membahasnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved