Wawancara
WAWANCARA DIREKTUR Pencegahan BNPT : Dukungan Regulasi Pemberantasan Radikalisme Belum Kuat
DIREKTUR Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Ahmad Nurwahid mengatakan, paham radikalisme dan terorisme sulit dihapuskan
DIREKTUR Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Ahmad Nurwahid mengatakan, paham radikalisme dan terorisme sulit dihapuskan dari Indonesia jika regulasi yang ada masih tidak mendukung.
Dia merujuk kepada UU No.5/2018 tentang Terorisme, hanya dapat menindak mereka yang sudah melakukan aksi teror dan mereka yang sudah masuk ke dalam jaringan teror ditandai dengan sumpah baiat, atau melakukan i'dat (latihan perang).
Menurutnya dalam UU itu tidak mencantumkan aturan dan larangan paham radikalisme. Sehingga kemungkinan penghapusan paham radikalisme pun mengecil. Berikut wawancara khusus Tribunnetwork dengan Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Ahmad Nurwahid, Jumat (29/10).
Apakah paham intoleran ancam keutuhan NKRI?
Kalau seberapa mengancamnya sudah sangat mengancam. Terutama ketika kami survei di tahun 2020, yang masuk dalam kategori index kategori potensi radikalisme dengan indikator, dia sudah anti-Pancasila, dia pro khilafah, atau pro ideologi transnasional lainnya, kemudian dia sudah intoleran dan eksklusif.
Intoleran di sini mereka intoleran tidak menghormati, tidak mengakui adanya perbedaan, keragaman, mereka anti-budaya dan kearifan lokal. Anti di sini bukan berarti tidak ya. Misalnya kearifan lokal berupa kenduri, yasinan, tahlilan, maulid dan sebagainya. Anti di sini sikap membenci dengan membid'ahkan, menyesatkan, bahkan mengkafir-kafirkan mereka yang melakukan tradisi keagamaan lokal tersebut.
Kemudian mereka anti pemerintahan yang sah. Anti di sini bukan berarti kritis atau oposisi. Di era demokrasi oposisi boleh. Kritis juga wajib. Kan kita harus selalu kritis menghadapi sesuatu yang memang dinilai tidak benar.
Anti pemerintahan di sini adalah sikap membenci dengan membangun distrust atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara atau pemimpin atau pemerintahan yang sah dengan membangun atau melakukan sebaran hoax, konten-konten hate speech, provokatif, adu domba, fitnah dan lainnya. Indikator ini yang masuk dalam indeks potensi radikalisme.
Menindak mereka sebelum melakukan aksi teror?
Di tahun 2020 itu di angka 12,2% dari seluruh penduduk Indonesia. 12,2% itu kisarannya 30 jutaan lah ya. Tetapi kita cukup bersyukur karena ini sebenarnya mengalami penurunan. Puncaknya di Indonesia itu di tahun 2016 sampai 2017. Itu ada di angka kalau di skala 0-100, itu di angka 55, 4.
Kemudian di tahun 2018, karena beberapa hal, beberapa faktor dan puncaknya ketika terjadi bom Surabaya yang dilakukan satu keluarga itu cukup memotivasi dan menggerakkan negara atau pemerintah untuk segera menerbitkan UU nomor 5/2018. Densus 88 antiteror yang dikoordinasikan oleh BNPT bisa melakukan tindakan preventif justice, atau preventif strike, menindak, menangkap, sebelum melakukan aksi teror.
Ini sudah ada kisaran 1.350 lebih upaya aksi teror yang berhasil digagalkan dengan ditangkap atau dilakukan proses hukum. Tapi memang tidak kita publish semuanya. Kalau kita publish semuanya bayangkan dari November 2018 sampai sekarang. Hampir setiap hari ada penangkapan teroris. Nanti akan menjadi teror baru. Masyarakat akan menjadi resah dan lain sebagainya.
Selama pandemi bagaimana?
Dengan UU itu cukup signifikan menurunkan dari angka 55,4 menjadi 38 di tahun 2019. Angka 38 di taun 2019. Kemudian di tahun 2020 itu di angka 12,2. Ini suatu karunia yang luar biasa. Di balik adanya musibah atau wabah covid-19 ternyata ada hikmah juga. Ada tren penurunan index potensi radikalismenya.
Berarti radikalisme berbahaya?
Pola masifnya radikalisme dan terorisme ini itu menjadi pola sebelum terjadinya konflik di negeri-negeri konflik terutama di negeri-negeri muslim. Kayak di Suriah, Libya, Afghanistan, Irak, Yaman, Somalia, Nigeria, dan lain sebagainya. Polanya sama. Selalu didahului masifnya maraknya radikalisme dan terorisme.
Kemudian berkolaborasi dengan pihak-pihak yang anti pemerintahan yang sah tadi dan terjadi intervensi asing.
Pola tersebut sudah diterapkan atau dicopy paste sekitar 2011-an ke sini. Ini yang sangat membahayakan.
Sudah ada UU melarang radikalisme?
UU nomor 5/2018 belum melarang ideologi yang menjiwainya atau radikalismenya. Ideologi khilafah, ideologi daulah, atau radikalisme belum ada larangannya di negeri ini. Larangannya hanya pada Komunisme, Marxisme, Leninisme yaitu di TAP MPRS NO XXV Nomor 1966. Turunannya pada UU 27/1999 larangan terhadap Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.
Tetapi ideologi yang relevan saat ini mengancam eksistensi ideologi negara Pancasila maupun integrasi NKRI belum ada. Sehingga ada HTI, FPI kelompok radikal yang dibubarkan, yang dibubarkan itu ormasnya, organisasinya dengan UU 16/2017. Tapi mereka masih masif mempopagandakan atau menggelorakan khilafah, tegakkan syariah, dan lain sebagainya. Ini belum ada regulasinya yang melarang. Termasuk NII yang sedang kami tangani di Lampung maupun di Garut.
Regulasi larangan paham radikal bagaimana?
Kami ingin mengeluarkan list tokoh agama, lembaga pendidikan yang jelas-jelas mengajarkan intoleran tadi itu tidak bisa karena belum ada regulasi. Otomatis kami menggunakan jaringan, misal kerjasama dengan NU, Muhammadiyah, Banser untuk mereka berperan di dunia maya.
Termasuk di universitas, kita bekerjasama dengan civitas akademik, rektor dan dosen supaya jaminan kegiatan ekstra kampus benar-benar diperhatikan dan menjadi atensi, termasuk jaminan sterilisasi masjid-masjid kampus, perusahaan BUMN dan lain sebagainya. (Tribunnetwork/Vincentius Jyestga/cep-bersambung)
Baca juga: Harga Cabai Merah dan Minyak Goreng Picu Inflasi di Jateng
Baca juga: Siap Tempur di Liga 3, Persibat Batang Hadapi Persipur di Stadion Utama Kendal
Baca juga: Kisah Maling Amatir di Kebumen, Ketakutan setelah Berhasil Mencuri Perkakas Pertukangan Kayu
Baca juga: Ikut Pelatihan Digital Marketing di Kudus, Zadit Kini Tahu Cara Promosi Produk di Marketplace