Berita Banyumas
Di Balik Sejarah Mendoan Banyumas yang Ditetapkan Jadi Warisan Budaya Tak Benda
Belum lama ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menetapkan mendoan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb).
Penulis: Permata Putra Sejati | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM -- Belum lama ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menetapkan mendoan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb).
Sungguh ini menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi warga Banyumas dan sekitarnya. Bagaimana sebenarnya sejarah mendoan?
Budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, bercerita, mendoan ditemukan secara tidak sengaja oleh warga Kabupaten Banyumas.
Menurutnya, mendoan adalah produk ketidaksengajaan tetapi menjadi lebih populer dari produk yang semula akan dibuat, yaitu keripik tempe.
Awalnya orang Banyumas akan membuat keripik tempe. Keripik tempe dibuat dari tempe yang tipis agak lebar.
Tempe kemudian dicelupkan pada adonan tepung, dengan bumbu garam dan ketumbar. Adonan itu kemudian digoreng.
Untuk menjadi keripik maka harus melalui dua tahapan cara menggorengnya. Setelah bahan makanan itu setengah matang, diangkat dahulu dari penggorengan dan didinginkan.
Baru kemudian digoreng lagi untuk proses kedua kalinya sampai kering. Hal itu harus dilakukan dua tahap.
"Jadi dalam keadaan tahap pertama ini, mungkin ada orang yang ngiler kepingin mencoba dan dimakan walaupun itu sebetulnya baru tahap pertama digoreng. Ini yang kemudian menjadi makanan yang dinamakan mendoan," ujarnya kepada Tribun Jateng, Senin (8/11).
Dari percobaan itulah kemudian dikembangkan makanan khusus yang dinamakan mendoan.
Pada perkembangannya mendoan menjadi penuh bumbu seperti, seledri, ketumbar, bawang putih, dan muncang.
Tohari menjelaskan, kata mendo mempunyai arti 'setengah matang' atau lembek dan bisa juga berarti lemah.
"Misal, kalau orang lembek itu bisa dikatakan, mentalnya jangan mendo. Jangan lemah atau lembek. Jadi kata mendo sendiri sering ditasbihkan kepada orang Banyumas yang suka tidak serius dan mengerjakan sesuatu tidak selesai dengan tuntas," terangnya.
Ahmad Tohari mengaku tidak suka orang Banyumas disebut mempunyai mental mendoan. Karena ungkapan tersebut kerap dikaitkan kepada orang yang bermalas-malasan.
Ia berkisah, ketika masih indekos di dekat Pasar Wage Purwokerto pada 1962, sempat indekos di sebelah rumah
pemilik mendoan tersebut. "Mendoan itu sangat pas sekali dinikmati dengan kopi hitam kental dan cabai rawit atau orang sini menyebutnya nyigit," katanya.