Berita Semarang
30 Tahun Power Slaves, Heydi Ibrahim: Cerita Perjalanan Bermusik yang Tidak Mudah
Tiga puluh tahun berkarya di blantika musik Indonesia, Powerslaves menerbitkan sebuah buku perjalanan musik.
Penulis: amanda rizqyana | Editor: moh anhar
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Tiga puluh tahun berkarya di blantika musik Indonesia, Powerslaves menerbitkan sebuah buku perjalanan musik berjudul 'Find Our Love Again: 30 Tahun Jejak Rekam Powerslaves'.
Buku ini diterbitkan tepat di usia Powerslaves yang ketiga puluh tahun pada April 2021 dan ditulis oleh Riki Noviana.
Buku tersebut diakui oleh keduanya merupakan media untuk bercerita pada para Slaver, para pecinta musik Powerslaves, mengenai perjalanan musik band yang dirintis di Semarang.
"Jujur, saya belum baca dan nggak punya, nggak saya bawa juga bukunya, tapi yang sudah baca dan mengikuti Powerslaves bilang ke saya: buku itu bagus dan sesuai dengan kisah perjalanan band kami, " terang Heydi Ibrahim, vokalis Powerslaves pada Tribun Jateng, Jumat (12/11/2021) siang di Tanamera Coffee Tentrem Mall Kota Semarang.
Baca juga: Pemain Muda Asal Jepara Adam Aditya Kini Berseragam Persikab Kabupaten Bandung
Baca juga: Bergesernya Penggunaan Bahasa Kalangan Milenial di Media Sosial, Sebuah Kreativitas Berbahasa?
Heydi menambahkan, buku itu memang bercerita tentang proses perjalanan bermusik Powerslaves, ada suka, duka, tawa, amarah, kecewa, dan semua emosi dan ekspresi.
Ia mengaku, buku tersebut bukan bercerita tentang apa dan siapa Powerslaves, maupun apa dan siapa personelnya.
Namun apa saja yang sudah personel Powerslaves lalui hingga berada di titik ini.
"Buku itu bercerita tentang perjalanan band yang kini berusia 30 tahun. Saat ini membanggakan sudah bisa melewati tahun perak kami, namun perjalanannya tidak mudah, sangat berat," tambah Heydi.
Siang itu, Heydi dan sang keyboardist, Wiwiex Soedarno bercerita bahwa di usia mereka yang sudah matang, setelah bersama selama puluhan tahun, mereka kini bisa duduk bersama.
Keduanya sudah bisa bercerita tentang keluarga, saling bercerita tentang perkembangan masing-masing buah hati, berbagi kopi maupun camilan yang dipesan, dan sesekali bercerita kesibukan mereka.
Mereka pun bercerita pernah membuat sebuah kedai kopi di Banjarnegara karena mereka sangat menyukai kopi.
Mereka bisa mengonsumsi kopi empat gelas sehari. Bagi keduanya, kopi menjadi adiksi untuk melakoni hari.
"Dulu kami itu selalu beda pendapat, sering berantem, nggak cuma berantem omongan. Setelah di usia kami yang bukan tua, yang tua bandnya, kami nggak tua. Kami nggak pernah membayangkan bisa seperti sekarang," cerita Wiwiex.
Duduk bersebelahan, mereka mengenang proses perjalanan hidup seperti Heydi yang pernah mencicipi narkoba hingga membuat tujuan hidupnya sempat berantakan maupun Wiwiex yang merasakan sakit hati karena dipecat oleh band.
Keduanya tak menampik popularitas, materi, ego, gaya hidup, gejolak jiwa muda, lingkungan: bisa mengubah seseorang.
Bila mengenang bagaimana kadang konflik antarpersonel pecah karena hal yang sepele, mereka bisa menertawakan hal tersebut.
Keduanya ingin bercerita bahwa menjadi musisi, memproduksi lagu dan bisa menelurkan album bukanlah titik akhir, namun itulah gerbang awal menuju segala ujian.
"Setiap band maupun setiap individu pasti memiliki problemnya, semua pasti mengalami dalam wujud yang berbeda. Di buku ini kami bercerita tentang apa saja yang kami alami dalam Powerslaves," kisahnya.
Keduanya mengaku buku ini bisa menjadi pelajaran bagi para musisi yang sedang merintis atau tengah melakoni, bahwa di balik semua yang nampak di depan mata, selalu ada masalah.
Mereka bercerita tentang masalah apa yang dihadapi dan bagaimana mereka menyikapinya.
Mereka pun bercerita tentang prahara yang dihadapi dalam tubuh band di buku tersebut.
Untuk itu, keduanya menyarankan bagi Slavers maupun para calon musisi untuk belajar dari kesalahan dan cerita masa lalu mereka.
Meski demikian, masa lalu tak selalu berkonotasi negatif.
Masa lalu mereka ketika masih muda, memiliki semangat dan idealisme merupakan momen untuk melakukan kesalahan dan belajar sebanyak-banyaknya dari kesalahan yang dibuat.
"Kalo Wiwiex enak, belajar sesuai tujuannya, dia kuliah seni musik di UNY, saya kuliah nggak ada yang selesai, mau masuk Seni Rupa ISI (Institut Seni Indonesia-red) nggak diizinkan," tambahnya.
Heydi menyontohkan, dirinya yang sempat dua kali drop out kuliah hingga akhirnya ia berpegang pada pilihannya untuk bisa berkesenian di jalan band metal.
Dengan segala kekeras-kepalaannya, Heydi berusaha membuktikan pada orang tua dan keluarga bahwa pilihan yang ia ambil tepat.
Menurutnya kala itu orang tua ingin anaknya mengambil jurusan kuliah yang memiliki masa depan dan alasan inilah kedua orang tua melarangnya mengambil kuliah seni.
Ia bercerita bahwa ia jadi pionir dalam keluarganya yang terbilang akademis dan eksakta.
"Dulu orang tua saya takut kalo kuliah seni, mau kerja apa. Sekarang saya bisa membuktikan pada orang tua bahwa saya bisa menjalani hidup sesuai pilihan hati," tuturnya.
Pengalaman itulah yang membuat keduanya bisa semakin bijak menghadapi segala permasalahan hidup, terlebih setelah menjadi papa rock n roll sekarang.
Baca juga: Sosok KP II Raden Mas Bambang Soeprapto Resmi Disematkan pada Nama Ksatrian Brimob Srondol
Baca juga: Sebentar Lagi Balapan, Ini Link Live Streaming GP Valencia 2021 dan Perpisahan Rossi di MotoGP
Saat anak sudah mulai tumbuh dewasa, yang juga membawa sekelumit hal yang tak mereka sadari, mereka mengaku lebih bisa bijaksana dengan apa yang dialami.
Mereka mengaku sudah lebih tenang dan memilih untuk mencari solusi.
"Kami sudah mengalami dan merasakan banyak hal ketika muda. Sekarang kami cuma ingin memiliki legacy pada anak-cucu maupun Slavers bahwa kami saat ini masih berkarya," tegas keduanya.
Tentang karya mereka, ada sedikit kebanggaan ketika musik yang mereka ciptakan puluhan tahun lalu masih bisa dinikmati anak-anak yang bahkan usianya setengah usia band mereka.
Ketika mereka tampil dan ada anak-anak seusia anak mereka sambil membawa kaset dan bercerita bahwa mereka tahu lagu-lagu Powerslaves dari orang tua, paman, kakak dan masih menyimpan album fisik mereka.
"Musik itu universal dan bisa dinikmati. Lagu Powerslaves bisa dinikmati oleh anak-anak yang usianya kurang dari usia Powerslaves. Itulah yang menjadi kebanggan dan semangat berkarya bagi kami."
Band yang telah memproduksi lima album ini saat ini tengah menyiapkan lagu atau single sembari mempersiapkan album.
Mereka masih tetap berkarya dan produktif, dan kadang manggung untuk kalangan terbatas.
Saat situasi seperti sekarang, Powerslaves tetap bisa menghasilkan karya berjudul Stare at Me, sebuah lagu untuk para tenaga kesehatan (nakes).
Bagi keduanya, tak ada halangan untuk berkarya.
"Sambil mengumpulkan materi untuk album, kami sedang melakukan rekam ulang untuk beberapa lagu andalan kami. Kami ingin membuat rilisan album fisik sebagai buah tangan untuk para Slavers. Walaupun digital sekarang menjadi andalan, tapi sebagai pecinta, merilis album fisik bisa menjadi obat rindu," tutur Wiwiex.
Berbicara tentang karya digital, keduanya mengaku menyadari bahwa dunia digital bergulir demikian cepat. Semua orang kini bisa menikmati musik hanya dari genggaman.
Bahkan mereka pun menyadari bahwa sudah ada orang-orang yang mengomersialisasikan karya-karya Powerslaves di berbagai platform digital tanpa seizin mereka.
Diakui oleh keduanya, mereka cukup tertinggal dalam meraba tren ini.
Meski demikian, saat ini Powerslaves sudah mulai mengonversikan karya mereka ke digital agar semakin banyak orang yang yang bisa menikmati karya Powerslaves.
Baca juga: Harga Emas Menguat Selama Sepekan Terakhir, Ini Pergerakannya
Baca juga: Gubernur Anies Baswedan: Jakarta akan Tergenang
Keduanya berharap bisa tetap berkarya hingga Powerslaves bisa merasakan tahun emasnya.
Meskipun bila tidak berjodoh untuk itu, mereka ingin memiliki karya yang bisa menjadi warisan bagi para penikmat musik Powerslaves dan keluarga mereka.
Mereka mengutip peribahasa, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.
"Apa yang akan orang kenang dengan kami setelah kami tiada? Kami ingin ketika mati meninggalkan karya dan cerita untuk dinikmati semua orang," pungkas keduanya. (*)