Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

OPINI

OPINI DR Nugroho Trisnu Brata : Beban Kerja Seorang Guru

TULISAN ini berangkat dari sebuah diskusi ketika penulis dan tim pengabdian masyarakat Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS Unnes

tribunjateng/cetak/grafis bram kusuma
Opini ditulis oleh DR Nugroho Trisnu Brata, M.Hum, Dosen Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang 

Oleh DR Nugroho Trisnu Brata

Dosen di Jurusan Sosiologi dan Antropologi Unnes

TULISAN ini berangkat dari sebuah diskusi ketika penulis dan tim pengabdian masyarakat Jurusan Sosiologi dan Antropologi FIS Unnes mengadakan pelatihan penulisan artikel ilmiah bagi para guru. Acara diadakan di SMA Negeri 2 Yogyakarta yang diikuti para guru setempat dan juga para guru dari sekolah-sekolah lain.

Hal itu juga terungkap dari para guru yang sedang mengikuti PPG Daljab (Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan) di UNNES. Dari sana terungkap bagaimana beban kerja seorang guru, tantangan, dan peluang yang harus dihadapi.

Di masa lalu pekerjaan menjadi seorang guru juga berdampak pada kehidupan sosial. Di mata masyarakat guru dianggap sebagai sosok panutan yang mampu memberikan suri tauladan bagi masyarakat sekitar dan tempat untuk bertanya. Di sekolah guru mendidik siswa sehingga dapat menjadi manusia yang berwawasan, cakap, dan bijaksana jika siswa sudah dewasa.

Ketika seseorang memutuskan untuk bekerja di suatu lapangan pekerjaan tertentu maka sejatinya ia sedang dan telah menenun atau memintal gagasan-gagasan untuk menyesuaikan diri yang diwujudkan dalam perilaku bekerja sesuai dengan budaya bekerja di tempat itu. Berbagai kebebasan yang ia memiliki pada waktu belum bekerja di tempat itu terpaksa atau malah dengan suka rela ia tinggalkan demi menyesuaikan diri dengan budaya bekerja di tempat yang ia pilih (N.T. Brata,2020:5).

Bekerja menjadi guru berarti harus siap dengan budaya kerja di dunia pendidikan. Seorang guru harus melepaskan kebiasaan-kebiasaan atau perilaku dan karakter yang tidak sesuai dengan profesi guru. Dia harus mampu menjadi tauladan bagi siswa-siswinya maupun bagi masyarakat di sekitar tempat tinggalnya.

Bekerja adalah fenomena yang bisa kita temui sebagai aktifitas yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Beraneka ragam jenis pekerjaan dijalani masyarakat misalnya bekerja menjadi guru, buruh, sopir, tukang batu, pedagang, polisi, tukang parkir dan sebagainya. Buku klasik hasil penelitian Clifford Geertz (1989) membuat 3 terminologi masyarakat Jawa di daerah Mojokuto menjadi; abangan, santri, dan priyayi. Dasar terminologi ini salah satunya adalah jenis pekerjaan atau orientasi ekonomi.

Jadi Priyayi

Menurut Geertz, dari ketiga pekerjaan itu bagi masyarakat Jawa yang paling ideal adalah profesi sebagai priyayi. Pekerjaan sebagai priyayi itu kemudian bertransformasi menjadi pekerjaan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau ASN (Aparat Sipil Negara). Imajinasi menjadi priyayi yang bertransformasi menjadi PNS (sebelumnya ambtenaar/pegawai pemerintah kolonial Belanda) karena identik dengan hal yang baik atau yang ideal.

Umar Kayam (1993) menggambarkan dengan elok tipe pekerjaan yang ideal bagi orang Jawa yaitu menjadi priyayi melalui sebuah buku “Novel Etnografis Para Priyayi”. Tokoh Soedarsono digambarkan sebagai anak petani Desa Kedungsimo yang hatinya sangat gembira karena berhasil memperoleh beslit (surat keputusan) guru bantu.

Pemaknaan pekerjaan guru sebagai bagian dari kelas priyayi ini dilatarbelakangi oleh kebudayaan Jawa yang berorientasi feodal. Feodalisme Jawa ini cenderung meletakkan posisi lapisan priyayi berada di atas lapisan wong cilik dalam struktur sosial budaya Jawa.

Terdapat pesan dalam novel etnografi di muka bahwa priyayi diyakini oleh masyarakat Jawa, adalah status sosial yang didapat orang karena garis keturunan dari generasi sebelumnya. Namun Umar Kayam mendekonstruksi keyakinan tersebut bahwa dengan modal pendidikan yang bagus maka wong cilik bisa bertransformasi menjadi priyayi.

Seiring perkembangan jaman maka pekerjaan menjadi guru pernah dihindari oleh sebagian masyarakat karena gajinya terlalu kecil dan tidak bisa mencukupi berbagai kebutuhan hidup rumah tangga. Pada tahap selanjutnya ketika gaji guru dinaikkan oleh pemerintah dan masih mendapat tambahan tunjangan sertifikasi guru sehingga penghasilan guru dianggap tinggi maka banyak orang ingin menjadi guru.

Kampus-kampus bekas LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, atau bekas IKIP) kemudian banjir peminat, karena menjadi sarjana pendidikan bekas LPTK adalah jalan lurus untuk bekerja menjadi guru.

BerdasarkanUndang-Undang Nomor 14 Tahun 2005tentang Guru dan Dosen, pada pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi;kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesionalyang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang dikembangkan menjadikompetensi guru PAUD/TK,guru kelas SD, danguru mata pelajaranpada SD, SMP, SMA, dan SMK atau sekolah yang setara. Jadi untuk menjadi seorang guru yang berkompetensi bukan hal yang mudah.

Sedangkan pasal 20 UU No.14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa guru profesional wajib: a) Merencanakan pembelajaran bermutu, menilai, dan mengevaluasinya, b) Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi, c) Bertindak objektif dan tidak deskriminatif dalam pembelajaran, d) Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, kode etik guru, dan e) Memelihara serta memupuk persatuan Indonesia.

Bahwa kemampuan mengajar adalah hal yang penting, tetapi menjadi guru yang pandai mengajar sekaligus mengembangkan kualifikasi akademik guru profesional adalah hal yang luar biasa untuk dapat dicapai. Tantangan akademik tersebut adalah realitas yang dihadapi guru di mana kemudian hal ini juga tertuang dalam syarat kenaikan pangkat yang harus dipenuhi oleh guru (Tarnoto, 2016). Salah satu syarat kenaikan pangkat adalah karya ilmiah yang dibuat oleh guru bersangkutan dan sering dianggap memberatkan.

Di masa pandemi selama 2020-2021 ini pembelajaran diarahkan ke sistem daring yang menjadi tantangan tersendiri bagi guru. Di daerah-daerah yang jaringan internetnya buruk atau sering terganggu maka guru bekerja makin berat karena harus datang ke rumah-rumah siswa untuk mengajar.

Kata kunci dari bagaimana menyikapi beban kerja guru yang sangat berat adalah dengan membangun jejaring sosial (social networking) dengan sesama guru satu bidang seperti MGMP dan sejenisnya, atau organisasi di atasnya seperti PGRI. Namun perlu juga dijalin sinergi antara guru dengan kalangan perguruan tinggi. Berdiskusi dengan terbuka dan bertukar informasi terkini secara kontinyu tentang dunia pendidikan bisa menjadi solusi bagi semua guru yang merasa beban kerjanya sangat berat (walau reward-nya juga lumayan bagus). (*)

Baca juga: Hotline Semarang : Pak, Bagaimana Cara Ajukan Bantuan untuk Korban Bencana Alam?

Baca juga: Ini Maksud Yudha Memprotes Dedi Mulyadi, Tujuan Awalnya Bukan Tanya Dasar Hukum Memungut Sampah

Baca juga: Diguyur Hujan Hari Ini, Berikut Prakiraan Cuaca BMKG Kabupaten Batang, Jumat 19 November 2021

Baca juga: Luna Maya Jadi Ketua RT, Begini Penampilannya saat Blusukan Bersama Warga

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved