Jawa
5 Tradisi Jawa Sakral yang Penuh Makna, Hingga Saat ini Masih Dilestarikan
Jawa merupakan salah satu daerah yang sama kentalnya dengan daerah lainnya di Indonesia, yang sarat dengan kebudayaan.
Penulis: Alifia | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUNJATENG.COM – Jawa merupakan salah satu daerah yang sama kentalnya dengan daerah lainnya di Indonesia, yang sarat dengan kebudayaan.
Banyak tradisi yang mulai dilupakan bahkan tak diketahui maknanya, khususnya bagi anak muda.
Jawa Tengah khususnya, memiliki berbagai macam tradisi sakral yang masih dipercaya hingga saat ini untuk terus dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat karena dipercaya untuk menolak kesialan dan mendatangkan kebaikan bagi kehidupan yang akan datang.
Baca juga: Hari Baik Bulan Desember 2021 Berdasarkan Perhitungan Kalender Jawa, Tanggal 29 dan 30 Aman Dipakai
Baca juga: Hari Baik Bulan Oktober 2021 Berdasarkan Perhitungan Kalender Jawa Hindari Tanggal 10 Hingga 16
Baca juga: 10 Weton yang Diramal Akan Kaya di Tahun 2022
Baca juga: Cara Menghitung Weton 8 Kategori Jodoh Menurut Primbon Jawa
1. Sadranan
Sadranan merupakan tradisi yang masih berkembang dan sangat kental dengan tradisi masyarakat daerah khususnya di beberapa wilayah di Jawa Tengah.
Sadranan atau yang biasa disebut dengan Nyadran merupakan tradisi yang secara rutin dilakukan oleh masyarakat daerah untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan.
Dalam pelaksanaannya, sadranan dilakukan dengan menggelar doa untuk para leluhur maupun kerabat yang telah meninggal dunia.
Tujuannya adalah, agar dosa-dosa mereka diampuni dan segala amal kebaikannya diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa.
Masyarakat setempat biasanya akan melakukan bersih-bersih makam dan memasak berbagai macam hidangan untuk dihidangkan.
Tak hanya itu, biasanya akan ada kerabat yang datang dan saling mengunjungi untuk bisa saling berbagi dan menikmati makanan bersama-sama.
2. Brobosan
Tradisi unik lainnya, yang masih dilakukan oleh beberapa masyarakat Jawa Tengah hingga saat ini adalah tradisi brobosan.
Tradisi ini dilakukan saat keluarga telah meninggal dunia dan akan dimakamkan, biasanya peti atau keranda akan dijunjung dan kerabat maupun keluarga harus menerobos dibawah peti atau keranda jenazah.
Masing-masing harus menerobos ke bawah keranda jenazah sebanyak tiga kali, dengan tujuan untuk menghormati kepergian jenazah dan mengikhlaskan kepergian kerabat maupun keluarga yang bersangkutan.
3. Mubeng Benteng
Mubeng Benteng atau mengitari benteng merupakan salah satu tradisi yang hingga saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tradisi ini biasa dilakukan pada malam satu suro atau juga biasa disebut dengan tradisi malam satu suro.
Dalam rangkaiannya, mubeng benteng dilakukan dengan cara mengelilingi benteng atau keraton Jogja.
Tujuannya adalah agar masing-masing orang yang melakukannya melakukan refleksi dan intropeksi diri agar mendapatkan ketenangan dan berbuat yang lebih baik lagi untuk kedepannya.
Tradisi sakral ini tidak sembarang dilakukan, karena saat melakukan mubeng benteng ini dilarang makan maupun minum hingga acara selesai.
Hingga saat ini, masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta masih menjaga budaya leluhur dan melestarikannya hingga saat ini.
4. Tingkeban
Tradisi yang satu ini mungkin tidak asing lagi, yakni Tingkeban.
Upacara Tingkeban atau yang biasa disebut dengan mitoni oleh masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah ini dilakukan untuk ibu hamil yang memasuki usia kandungan 7 bulan.
Dikenal juga dengan upacara nujuh bulan, tradisi ini dilakukan dengan beberapa rangkaian salah satunya adalah dengan memandikan ibu hamil dan membacakan doa.
Doa ini dimaksudkan untuk keberkahan bagi sang bayi, dan memberikan keselamatan bagi ibu dan calon bayi nantinya.
Tingkeban merupakan tradisi Jawa yang cukup sakral, hal ini karena untuk melakukan pengguyuran air ke ibu hamil tidak dilakukan oleh sembarang orang melainkan harus dilakukan oleh tujuh orang tua yang dituakan di daerah tersebut.
5. Ruwatan
Ruwatan merupakan tradisi yang banyak berkembang khususnya di Jawa Tengah daerah Dieng Wonosobo.
Ruwatan dilakukan untuk anak-anak yang tinggal dan menetap di daerah Dieng Wonosobo, yang memiliki rambut gimbal.
Rambut gimbal dinggap memiliki kemiripan dengan salah satu mahluk ghaib yakni buto ijo, karena kemiripan ini sehingga masyarakat secara rutin menggelar tradisi Ruwatan.
Ruwatan secara rutin dilakukan oleh masayarakat Dieng , Wonosobo Jawa Tengah melalui serangkaian upacara dengan tujuan untuk mengusir segala hal yang jahat dan berbagai macam keburukan.
Keburukan dan kejahatan ini ditandai dengan adanya rambut gimbal pada anak-anak yang diyakini dibawa oleh buto ijo.
Tradisi ruwatan ini, biasanya digelar di depan umum baik turis local hingga mancanegara bisa menyaksikan tradisi ruwatan yang hingga saat ini masih dijaga dan dilestarikan dengan baik oleh masyarakat setempat. (aya/tribunjateng.com)
Baca juga: 12 Hari Diburu, Sosok Pembunuh Sadis Wanita yang Mayatnya Ditemukan di Jakal Bikin Miris
Baca juga: Fakta Baru Perampokan Gudang Rokok di Solo:S Survei 4 Kali, Tunggu Penjual Mi Sampai Dini Hari
Baca juga: Update Virus Corona Kota Semarang Rabu 1 Desember 2021
Baca juga: Tjahjo Kumolo Stress, Belasan Calon Eselon 1 Gagal Gara-gara Kelakuan Pasangannya kalau Malam