OPINI
OPINI Rejeki Wulandari : Paras Ekonomi Global 2022
Tahun 2021 akan segera kita tinggalkan. Sementara kita masih berjuang mengatasi pandemi Covid-19 yang belum berakhir.
oleh: Rejeki Wulandari
Peminat Masalah Ekonomi dan Bisnis
Tahun 2021 akan segera kita tinggalkan. Sementara kita masih berjuang mengatasi pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Lantas bagaimana kira-kira prospek ekonomi di tahun 2022? Akankah pemulihan ekonomi berjalan mulus?
Secara global, perekonomian dunia diproyeksikan akan tumbuh sekitar 4,9 persen. Proyeksi angka pertumbuhan tersebut dapat saja meleset apabila tingkat kasus Covid secara global kembali meningkat tajam dan gagal dikendalikan hingga pertengahan tahun 2022.
Di dalam negeri, tiga bulan terakhir, jumlah kasus COVID terus melandai. Relaksasi mulai diberlakukan di berbagai sektor usaha, termasuk pariwisata.
Awal November lalu, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) menempatkan Indonesia sebagai zona hijau Covid dengan insiden Covid kategori rendah.
Meski demikian, ini tidak boleh membuat kita lengah. Pasalnya, kasus Covid di sejumlah negara Eropa dan Amerika Latin malah mengalami lonjakan.
Belum lagi munculnya varian baru, macam Omicron yang dikategorikan oleh WHO sebagai varian yang perlu diwaspadai.
Untuk menekan laju kasus infeksi Covid dan kemungkinan penyebaran varian baru virus Covid di akhir tahun, pemerintah kembali menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3 di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari tanggal 24 Desember 2021 hingga tanggal 2 Januari 2022.
Sebegitu jauh, program vaksinasi memang telah terbukti efektif dalam mengurangi dampak buruk Covid terhadap kondisi kesehatan masyarakat.
Namun, akses vaksin masih belum merata. Sedangkan secara global angka kasus penularan Covid masih rentan terjadi.
Kurang pasti
Hal-hal tersebut dapat saja membuat titik akhir pandemi menjauh, yang ujungnya membawa kekurangpastian terhadap langkah pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Pandemi mungkin saja kembali memburuk dengan krisis kesehatan yang berlarut-larut dan berimbas pada terganggunya roda perekonomian.
Di luar masalah Covid, ada juga beberapa hal yang perlu menjadi perhatian karena dampaknya terhadap roda perekonomian bisa sangat signifikan. Menurut kajian Economist Intelligence Unit (EIU), perekonomian global di tahun 2022 dapat berada dalam tekanan berat lantaran adanya hal-hal berikut ini.
AS dan Tiongkok
Yang pertama yaitu persaingan yang kian sengit antara AS dan Tiongkok dalam memperebutkan pengaruh global. Ada kecenderungan Presiden AS, Joe Biden, terus berusaha meyakinkan sekutunya untuk menekan Tiongkok lewat sektor perdagangan, teknologi, keuangan, dan investasi.
Ini pada gilirannya akan melahirkan polarisasi ekonomi dunia menjadi kubu pro AS dan kubu pro Tiongkok, yang implikasinya dapat menggoyahkan stabilitas ekonomi global.
Yang kedua adalah tekanan inflasi yang berasal dari rebound harga komoditas, yang telah menyebabkan beberapa negara, termasuk Brasil, Meksiko, Rusia, Sri Lanka dan Ukraina, untuk menaikkan tingkat kebijakan moneter sepanjang 2021
Dampak lanjutannya dapat menghambat pemulihan negara-negara tersebut dan merembet pada meningkatnya krisis utang pada negara-negara yang memiliki utang luarnegeri.
Hal ketiga yang dapat mengganggu laju roda ekonomi global di tahun 2022 adalah naiknya tensi ketegangan antara Tiongkok dan Taiwan, yang telah dimulai sejak akhir 2020 dan berpotensi sewaktu-waktu membuka peluang bagi konflik militer terbuka di Selat Taiwan.
Selain akan menyeret AS, konflik militer Tiongkok-Taiwan pasti akan mengundang pula keterlibatan Australia dan Jepang.
Taiwan sendiri merupakan salah satu sentra industri semi konduktor dan menjadi tulang punggung pasokan global. Jika konflik militer terbuka sampai terjadi di Selat Taiwan, dampaknya akan sangat besar bagi perekonomian global dan regional.
Yang berikutnya adalah kemungkinan memburuknya relasi Uni Eropa (UE) dengan Tiongkok. Maret 2021 lalu, UE memberi sanksi Tiongkok menyusul pelanggaran HAM di Xinjiang yang dilakukan pemerintah Tiongkok, yang mendorong Tiongkok mengeluarkan sanksi balasan terhadap sepuluh anggota Uni Eropa dan empat organisasi yang berbasis di Eropa.
Ke depan, relasi UE dan Tiongkok dapat kian memburuk jika UE memutuskan untuk menerapkan sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang berbasis di Xinjiang, yang kemungkinan besar akan langsung dibalas Tiongkok dengan memberi sanksi berupa boikot atas perusahaan-perusahaan negara anggota UE yang beroperasi di Tiongkok. Jika ini sampai terjadi, implikasinya dapat memicu krisis mata uang dan utang global.
Perubahan iklim
Dan yang terakhir adalah risiko yang terkait perubahan iklim. Cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim telah melanda berbagai belahan dunia sejak beberapa waktu belakangan ini.
Buntutnya mulai dari kekeringan panjang hingga curah hujan tinggi yang memunculkan sejumlah bencana iklim. Jika ini terus berlangsung, dunia akan menghadapi antara lain berkurangnya pasokan bahan pangan dan sekaligus memicu inflasi serta sentimen global yang membebani pertumbuhan ekonomi dunia.
Secara umum, ekonomi global di tahun 2022 mendatang cenderung terlihat agak gloomy. Faktor pandemi Covid diperkirakan masih akan sangat menentukan sejauh mana pemulihan ekonomi global dapat segera berlangsung.
Oleh sebab itu, percepatan dan pemerataan vaksinasi tidak boleh ditunda-tunda.
Kita perlu segera keluar dari rundungan pandemi yang telah berlangsung selama dua tahun terakhir ini. Kerjasama global dan regional dalam melawan pandemi Covid perlu makin diperkuat sembari terus mengupayakan pengurangan friksi dan konflik antarnegara di bidang ekonomi, perdagangan maupun politik, yang dibarengi dengan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara memadai dan berkesinambungan. (*)
Baca juga: Hotline Semarang : Adakah Syarat untuk Masuk Kota Semarang Saat Libur Nataru?
Baca juga: Fokus : Semeru Mengajarkan Pentingnya Edukasi Mitigasi
Baca juga: Tips dan Cara Mengonsumsi Jahe Agar Manfaatnya Maksimal, Jangan Berlebihan, Ini Takaran yang Pas
Baca juga: Sinergi PLN dan Pemprov Jateng Dalam Entaskan Kemiskinan Ekstrem