Berita Regional
Guru Rudapaksa 12 Santriwati di Bandung: Orangtua Korban Menangis Disodori Anaknya Bayi 4 Bulan
Rasa kecewa dan marah berkecamuk di diri para orangtua santriwati yang anaknya menjadi korban rudapaksa gurunya.
TRIBUNJATENG.COM, GARUT - Rasa kecewa dan marah berkecamuk di diri para orangtua santriwati yang anaknya menjadi korban rudapaksa gurunya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut, Diah Kurniasari Gunawan, merasakan betul hal tersebut.
Dari belasan korban rudapaksa guru pesantren bernama HW tersebut, 11 di antaranya dari Garut, Jawa Barat.
Baca juga: Guru Agama Rudapaksa 12 Santriwati hingga 4 di Antaranya Melahirkan 8 Bayi
Mereka masih ada pertalian saudara serta bertetangga.
Diah sendiri menyaksikan pilunya momen pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya yang sebelumnya dianggap tengah menuntut ilmu di pesantren, ternyata telah memiliki anak setelah dicabuli guru ngajinya yang mereka percayai sebelumnya.
"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia 4 bulan oleh anaknya, enggak, semuanya nangis," kenang Diah.
Orangtua korban pun berat terima kenyataan
Peristiwa pilu itu terjadi saat dirinya mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.
Kondisi yang sama, menurut Diah juga terjadi di kantor P2TP2A Garut saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya sebelum akhirnya mereka dipertemukan pertama kali di kantor P2TP2A Bandung sebelum dibawa ke P2TP2A Garut.
Menurut Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
Pelaku sangat bejat, orangtua dan korban sama-sama diberi terapi psikologi
Kasus ini, menurut Diah sangat-sangat menguras emosi semua pihak, apalagi saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtuanya yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.
"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita faham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya.
Orangtua korban kebanyakan bukan orang mampu, berharap sekolah gratis di pesantren