Fokus
Fokus : Wisatawan Bencana
ERUPSI dahsyat Gunung Semeru, 4 Desember 2021 lalu, kini masih menyisakan banyak hal. Korban meninggal yang mencapai 46 orang
Penulis: achiar m permana | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Achiar M Permana
Wartawan Tribun Jateng
ERUPSI dahsyat Gunung Semeru, 4 Desember 2021 lalu, kini masih menyisakan banyak hal. Korban meninggal yang mencapai 46 orang (hingga 13 Desember 2021), infrastruktur yang masih porak-poranda, serta rumah-rumah yang terkubur abu vulkanik.
Di luar itu, ada satu fenomena yang mengganjal. Fenomena yang menunjukkan minimnya empati terhadap para korban bencana.
Alih-alih alih menyumbang untuk korban erupsi Semeru, sejumlah orang justru memanfaatkan lokasi bekas bencana itu layaknya tempat wisata. Mereka berswafoto, nge-vlog, atau aktivitas lain dan mengunggahnya di media sosial atau platform berbagi video.
Fenomena “wisatawan bencana” itu mendapat sorotan dari warganet. Warganet menilai, para wisatawan bencana tidak menghargai para korban yang masih berduka, terlebih yang masih menunggu kabar kerabatnya yang belum ditemukan.
Tak kurang, Bupati Lumajang, Thoriqul Haq menegaskan, lokasi bencana Gunung Semeru bukanlah tempat wisata.
Thoriq menyatakan, masyarakat yang hanya ingin berfoto atau mengabadikan momen di wilayah bencana, justru akan menghambat proses evakuasi.
“Soal yang ingin foto-foto, jeprat jepret, sudah. Bukan waktunya sekarang. Ini bukan tontonan, bukan tempat wisata,” ujar Thoriq, dikutip dari Antara, Kamis (9/12/2021).
Melansir Antara, kawasan Umbulan di Dusun Sumbersari, Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, Lumajang, yang menjadi wilayah terparah bencana Semeru, justru didatangi oleh warga dari luar wilayah untuk berswafoto atau melakukan siaran langsung lewat media sosial.
Empat belas tahun silam, ketika gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter (SR) mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya, fenomena serupa juga muncul.
Lokasi Kota Yogyakarta yang sangat strategis, membuat orang-orang dari pelbagai penjuru mudah datang. Bukan hanya orang-orang yang datang dengan tujuan mengulurkan tangan.
Kebetulan, saat itu saya liputan selama seminggu di Klaten dan Yogyakarta, sejak hari pertama gempa pada 27 Mei 2007.
Pada hari kedua atau ketiga, seingat saya, para “wisatawan bencana” sudah mulai menyerbu Yogya.
Sebagian dari mereka bermobil, lalu menuju ke titik-titik paling menarik. Sebagian lainnya, datang dengan bersepeda motor, berombongan, serupa konvoi.