Berita Semarang
Garap Pasar Anak Muda, Perajin Batik Ciptakan Busana Ready To Wear Bermotif Minimalis
Perajin batik berbahan pewarna alami asal Semarang Zie Batik membidik segmen anak muda dengan menawarkan pakaian siap pakai atau ready to wear.
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Perajin batik berbahan pewarna alami asal Semarang Zie Batik membidik segmen anak muda dengan menawarkan pakaian siap pakai atau ready to wear.
Hal itu dikembangkan UMKM yang kini tengah mempersiapkan diri mengikuti ajang promosi di Dubai Expo pertengahan Februari 2020 mendatang.
Marheno Jayanto, pemilik Zie Batik mengatakan, pertimbangan produksi pakaian ready to wear berbahan kain batik ini didasari keinginan anak muda yang lebih praktis.
Mereka lebih memilih pakaian yang siap pakai daripada harus membeli selembar kain, lalu diserahkan pada penjahit.
Baca juga: BI Dorong Pesantren Jadi Penggerak Penguatan Ekonomi Syariah
Baca juga: Pembukaan Penerbangan Internasional di Bali Jadi Momen Kebangkitan Ekonomi
Dengan membeli produk ready to wear, konsumen anak muda bisa lebih hemat waktu, hemat biaya, dan bisa langsung memilih model pakaian yang disukai
"Bila saya sedang mengikuti ajang pameran, saya amati peluang pasar dan keinginan konsumen seperti apa. Kalau anak muda itu inginnya yang sederhana. Pakaian jadi yang ketika beli, langsung siap pakai, motifnya simpel, model pakaiannya juga simpel," kata Marheno, kepada Tribunjateng.com, Minggu (06/02/2022).
Sebelumnya, Zie Batik ini fokus produksi kain batik cap dan tulis dengan menggunakan pewarna berbahan alami.
Bahan pewarna alami ini didapatkan dari olahan tanam-tanaman, misalnya daun, batang, buah, ataupun akar.
Galeri sekaligus workshop Zie Batik ini berada di Kampung Malon RT 03 RW 06 Kelurahan Gunungpati, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang.

Hasil karya produksi Zie Batik ini terpajang di galeri, berupa kain, pakaian jadi, dan kerajinan tangan lainnya.
Dalam pengembangan produk pakaian jadi, Marheno yang mulai menekuni usaha batik sejak 2006 ini menggandeng warga sekitar galeri sebagai penjahit.
Awalnya, ia mengolah kain batik untuk diproduksi jadi masker. Ini mengingat, saat pandemi, kebutuhan masker begitu tinggi.
"Saat awal, ada 5-8 penjahit yang ikut membantu dalam memproduksi masker kain batik ini," kata Marheno.
Kehadiran penjahit ini menambah tenaga kerja pembatik yang sudah ada sebelumnya. Seiring perjalanan waktu, produk yang dikerjakan para penjahit pun dikembangkan. Sekarang, bukan hanya produksi masker, tapi juga produksi pakaian jadi.
"Ini hikmahnya pandemi bagi kami. Pandemi tidak lantas usaha menurun, tapi tetap bisa terus berkembang. Awalnya bikin masker, lalu berkembang bikin pakaian jadi. Tenaga kerja yang terserap juga bertambah. Apalagi sekarang sudah ada ruang galeri yang lebih representatif untuk memajang produk. Jadi harus bisa membuat produk beragam untuk mengisi galeri ini."