Forum Guru
OPINI Urip Triyono : Mendadak Temperamen, Ada Apa?
Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh fenomena “reaktif” yang ditunjukkan oleh sebagian masyarakat dirundung masalah.
Oleh: Urip Triyono, SS, MM.Pd
Alumnus Sastra UGM dan Guru di Brebes
Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh fenomena “reaktif” yang ditunjukkan oleh sebagian masyarakat dirundung masalah.
Sebagian masyarakat ini memperlihatkan daya resistensinya dengan berbagai cara yang menurut penulis unik dan terkadang membuat tersenyum sendiri. Masyarakat (tiba-tiba) menjadi temperamen, seakan kebakaran jenggot ketika identitas komunalnya disinggung atau merasa direndahkan.
Kita lihat beberapa waktu lalu komunitas Sunda tersinggung dengan ucapan seorang legislator yang dianggap merendahkan bahasa Sunda, kemudian komunitas Dayak juga merasa tersinggung dengan ucapan seseorang yang mengatakan tanah di Kalimantan tersebut sebagai tempat pembuangan jin.
Dan terakhir yang masih sangat hangat adalah “mregenggenge” masyarakat Jawa ketika seni budaya wayang dianggap direndahkan oleh seorang dai kondang.
Sensitif
Fenomena mencuatnya karakter temperamen suatu komunitas, suku atau bangsa merupakan indikasi adanya sesuatu yang tidak kesampaian sebagaimana mestinya.
Ada sesuatu yang terpendam dan suatu saat dapat meletus tanpa kendali, entah apa, hanya komunitas tersebut yang tahu jawabannya.
Komunitas tertentu seakan tidak dapat menerima ketika identitas daerahnya merasa direndahkan, dicibir, atau dibuat bahan ejekan.
Mereka ingin secara naluri dihormati tidak direndahkan dengan bahasa verbal maupun nonverbal.
Atau setidaknya jangan mengusik keberadaannya meskipun “usikan” yang diberikan sebenarnya tidak selalu bersifat menjatuhkan, memojokkan ataupun pembully-an.
Bisa jadi justru ungkapan yang disampaikan sebenarnya ungkapan perhatian, namun karena campur tangan berbagai fihak, maka momentum tersebut digoreng menjadi komodite yang layak “dijual” kepada pihak-pihak tertentu yang membutuhkan.
Masyarakat dibuat sedemikian sensitif dalam hal-hal tertentu, namun tampak tidak konsisten dengan kesensitivannya dalam hal-hal tertentu yang lain.
Mengapa? Karena sensivitasnya hanya mengurusi hal-hal yang bersifat asesoris belaka, belum mengarah pada sensitif sesungguhnya yang secara proporsional mampu menggugat ketidakadilan dan lemahnya pembangunan mentalitas bangsa. Sensitivisme yang pragmatis.
Melalui berbagai media, baik tulis maupun audio visual dan internet, masalah yang sebenarnya tidak terlalu besar menjadi sangat besar ketika telah di”olah” oleh para video creator penggemar hoaks di media internet.
Para content creator terkadang juga memilih membuat sensasi dengan mengedit dan mencroping bagian video tanpa didahului tabayun atau klarifikasi sehingga terkesan sengaja dibenturkan antara pihak satu dengan lainnya.
Para maling content ini malas membuat konten sendiri yang lebih original dan ispiratif.
Media youtube yang sangat familiar dengan kita, kini dijejali ribuan bahkan jutaan racun yang bila kita tidak waspada, akan mengenai pikiran dan mentalitas anak bangsa.
Video yang bernada hoaks sangat banyak di channel youtube dan tanpa adanya skrening yang jelas, mana yang pantas mana yang tidak, mana yang melanggar undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mana yang tidak sangatlah bias.
Beberapa kasus
Pertama, marahnya ‘Urang Sunda” pada kasus Kepala Kejaksaan Tinggi di Jawa Barat yang memimpin sidang atau rapat kerja menggunakan bahasa Sunda.
Aksi pak Jaksa ini kemudian ditegur oleh seorang anggota DPR yang kemudian viral karena merasa sensitivisme kedaerahan penggunaan bahasa Sunda dalam rapat disentil atau direndahkan.
Masyarakat Sunda protes bahkan akan membawanya ke ranah hukum.
Sebenarnya hal ini hanya masalah komunikasi saja antara kepala jaksa dan anggota DPR tadi, namun karena komunikasi yang tidak lancar maka timbulah permasalahan.
Tidak ada komunikasi bahwa selain bersidang menggunakan bahasa Sunda yang diikuti sebagian besar orang Sunda itu akan lebih mudah ditangkap substasinya, lebih akrab, juga untuk menghilangkan sekat-sekat yang terjadi pada para penegak hukum tadi.
Disamping tentunya untuk membumikan bahasa Sunda di tanah airnya sendiri, tanah Pasundan yang dikenal sangat dinamis.
Kedua, kasus Edy Mulyadi seorang aktivis yang dalam pernyataannya membawa-bawa nama Kalimantan sebagai tempat pembuangan bayi jin. Kalimat ini kemudian ditanggapi oleh sebagian masyarakat Kalimantan.
Bahkan melalui konferensi pers, sekretaris Kesultanan Kutai mengecam pernyataan tersebut karena dianggap bernada melecehkan dan merendahkan masyarakat Kalimantan dan tidak sepantasnya disampaikan hanya karena ketidaksetujuannya Kalimantan menjadi ibukota baru Negara dengan nama Nusantara ini.
Ketiga, kasus Ustadz Khalid Basalamah yang masih sangat hangat terutama di dunia maya.
Tagar dan status yang mengecam ustadz asal Makassar begitu sangat kencang muncul di beranda pengguna instagram, facebook, WA, twitter, dan media online lainnya. Semua mengecam pernyataan tersebut dari bahasa yang paling halus sampai yang kasar.
Setelah diteliti dengan seksama dalam video yang diupload beberapa tahun lalu, tidak terdapat kekeliruan atau kesengajaan Ustadz Khalid dalam membahas masalah wayang.
Momen tersebut terjadi tatkala Ustadz Khalid menjawab pertanyaan peserta pengajian yang notabene dikeluarkan dalam acara intern pengajian di mana dirinya menjadi narasumber.
Tak ayal, hampir semua media sosial dipenuhi hujatan kepada ustadz tersebut meskipun sudah dilakukan klarifikasi dan permohonan maaf.
Masyarakat kelihatannya masih belum menyadari adanya framing dalam kasus pembenturan antara Islam dan tradisi dalam kasus ini, yang pastinya akan menghabiskan banyak energi.
Kompromi
What next? Marilah kita bersikap arif dalam memandang segala permasalahan bangsa secara komprehensif, jangan bagian per bagian yang jauh dari substansi masalah yang sebenarnya.
Masalah besar bangsa ini adalah mentalitas korup, dekadensi moral, dan turunnya harkat dan martabat manusianya yang tidak beranjak naik yang diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Laporan IPM yang dirilis setiap tahunnya secara global oleh United Nation Development Programme (UNDP) mengindikasikan bahwa IPM negeri ini sangat rendah.
Konsep yang digunakan masih sama dengan mempertimbangkan tiga aspek yaitu kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Hanya saja pendekatan kalkulasinya saja yang berbeda.
Hasilnya untuk tahun 2020 Indonesia menduduki peringkat ke 107 dari 189 negara yang dianalisis oleh UNDP. Indonesia berada di peringkat tengah. Namun apabila merujuk pada skor IPM RI versi UNDP maka statusnya tergolong tinggi.
Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat kelima. IPM Indonesia kalah dari Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand.
Apa artinya? Artinya, kita harus mengkompromikan hal-hal yang remeh dan mencuatkan potensi unggulan yang dapat mendongkrak capaian pembangunan untuk bangsa ini secara menyeluruh.
Masa bangsa ini tidak bisa beranjak menjadi bangsa yang setengah maju atau maju padahal predikat bangsa yang “sedang berkembang” telah disandang sejak tahun 70-80 an. Kapan majunya?
Masyarakat dituntut lebih dewasa dan tidak temperamental dalam memandang sebuah permasalahan baik yang bersifat rural, kesukuan, ataupun kebangsaan dan anasir SARA lainnya.
Jangan mudah diprovokasi oleh pihak lain yang pekerjaannya “lempar batu sembunyi tangan”, yaitu para buzzer yang hidupnya dibayar dari uang haram para pemodal atau cukong.
Kalau kita reaktif namun tidak logis dan kritis, maka hal tersebut menunjukkan bahwa jiwa dan mentalitas Pancasila hanya bualan belaka, karena ideologi bangsa ini telah mewadahi seluruh perbedaan di negeri ini secara wajar dan manusiawi.
Malulah kita kalau jargon “NKRI Harga Mati “ hanya untuk menghalalkan segala cara dalam menghabisi orang atau kelompok lain yang tidak sepemikiran karena hal ini jelas bertentangan dengan substansi sila ke-4 Pancasila, yaitu sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Malulah kita kalau nama NKRI hanya untuk jualan dan makelaran tetapi kita justru membiarkan negeri ini musnah dibeli oleh bangsa lain, atau malulah kita kalau hanya pandai mengucapkan dan mengaku-ngaku “Saya Indonesia, Saya Pancasila”, namun perilakunya justru kebalikannya, menggerogoti keutuhan negeri ini dengan bersembunyi di balik kedok pendukung Pancasila.
Bedakan masalah
Sebagai bagian dari warga Negara yang bertanggung jawab, penulis menghimbau dan sekaligus mengingatkan bahwa negeri ini sudah penuh dengan masalah, namun bukan berarti tidak dapat diselesaikan.
Marilah kita urai bersama, dengan kesadaran dan penuh harap akan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Penyayang, kita mampu membedakan mana masalah yang remeh dan masalah substansial bangsa.
Mentalitas korup, keruntuhan moral, dan menurunnya harkat-martabat bangsa menjadi masalah bersama yang harus dihadapi. Arahkan temperamen negatif menjadi energi ledak positif yang konstruktif, demi tetap lestarinya negeri ini. Wallahu ‘alam bishowwaab. (*)
Baca juga: OPINI Aminuddin : Ancaman Regenerasi Koruptor
Baca juga: OPINI RIBUT LUPIYANTO : Wadas dan Ujian Kepemimpinan Ekologis
Baca juga: OPINI Udi Utomo : Tengkes dan Pangan Lokal
Baca juga: OPINI Mukhlis Mustofa : Karena Bersekolah Merenda Sejarah