Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Liputan Khusus

Liputan Khusus: Strategi UMKM Tempe Tahu Jateng Hadapi Mahalnya Kedelai

Pelaku UMKM mengalami dilema. Bila menaikkan harga tahu tempe dikhawatirkan pembeli pergi. Jika harga tak naik, dan ukuran sama, maka perajin tahu tem

Penulis: faisal affan | Editor: m nur huda
Tribun Jateng/ Imah Masitoh
Produsen tempe di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran keluhkan harga kedelai yang tinggi, Senin (21/2/2022).  

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kenaikan harga kedelai dari kisaran Rp 7.500 menjadi Rp 12.000 per kilogram dalam dua bulan ini membuat perajin tahu tempe kelimpungan.

Pelaku UMKM mengalami dilema. Bila menaikkan harga tahu tempe dikhawatirkan pembeli pergi. Jika harga tak naik, dan ukuran sama, maka perajin tahu tempe merugi.

Akhirnya, beberapa pelaku usaha tahu tempe mengecilkan ukuran atau mengurangi timbangannya. Bayu, satu di antara perajin tempe di jalan Medoho, Sambirejo, Gayamsari Semarang menuturkan, dirinya terpaksa mengurangi volume tempe sebab tak ada cara lain untuk menyiasati lonjakan harga yang terjadi.

Menurutnya, ia dan perajin tidak bisa menaikkan harga sebab khawatir konsumennya akan hilang sehingga mengurangi timbangan adalah satu-satunya solusi.

"Konsumen pasti lebih senang harga stabil, soalnya kalau harga dinaikkan, gaji berapa kan? Konsumen inginnya yang penting murah," kata Bayu kepada Tribunjateng.com, Minggu (6/3/2022).

Bayu menuturkan, kenaikan harga kedelai beberapa waktu terakhir ini memang terjadi cukup drastis. Sebelum pandemi Covid-19, kata dia, harga kedelai impor yang merupakan bahan dasar pembuatan tempe tersebut stabil antara Rp 8 ribu sampai Rp 9 ribu perkilogram. Bahkan dikatakan pernah pula di kisaran Rp 7 ribu perkilogram.

Namun, kenaikan akhir-akhir ini semakin drastis mencapai angka Rp 12 ribu perkilogram. Menurutnya hal ini berpengaruh bagi usahanya terutama pada penurunan produksi.

Bayu mengatakan saat harga kedelai masih stabil, dalam sehari ia mampu memproduksi hingga 1,7 kwintal hingga 1,8 kwintal tempe. Namun dengan kenaikan harga ini ia hanya mampu memproduksi sekitar 1,5 kwintal hingga 1,6 kwintal tempe.

"Dampaknya kalau mau nyari untung susah. Sekarang 1 kwintal harganya Rp 1,2 juta berarti kalau 1 kilogram Rp 12 ribu. Sebelum ada Covid-19 stabil Rp 700.000 per kwintal," ungkapnya.

Untuk menyiasati kenaikan harga tersebut ia mengurangi timbangan hingga 1 ons untuk 1 kilogram tempe.

"Protes pembeli pasti ada, tapi mereka tahu lihat di televisi. Ya bagaimana, kalau harganya naik terus ya dikurangi terus," ungkapnya.

Sakdun, perajin tempe di Kampung Tempe jalan Lamper Tengah, Semarang mengatakan hal serupa.
Ia mengaku kini hanya bisa bertahan menunggu harga kedelai turun. Sebab menurutnya, sudah tidak ada lagi yang bisa diperbuat setelah berbagai upaya dilakukan untuk menyiasati kenaikan harga.

"Kami minta pemerintah stabilkan harga kedelai. Kasihan banyak pengrajin tempe gulung tikar," kata Sakdun.

Menurutnya, perajin tempe enggan menaikkan harga karena diprotes pembeli. Konsumen akan pergi. Maka solusinya, ukuran tempe diperkecil. Itu pun juga diprotes konsumen.

"Harga tetap tapi isinya dikurangi. Kalau tidak dikurangi, tidak dapat sisa. Jadi diperkecil tempenya. Sebenarnya diprotes konsumen tapi bisa tidak bisa harus begitu. Bahkan kami jual sudah beberapa hari ini hasilnya mepet (keuntungan) tidak seperti biasanya," keluhnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved