Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Jakarta

Anggota Komisi VI DPR Dukung Larangan Ekspor CPO, Alasannya Imbas Politik di Depan Mata

Presiden Jokowi resmi melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng. Larangan tersebut mulai diberlakukan mulai 28 April 2022

Istimewa
Anggota Komisi VI DPR RI, Singgih Januratmoko 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Presiden Jokowi resmi melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan minyak goreng. Larangan tersebut mulai diberlakukan mulai 28 April 2022.

Larangan tersebut bertujuan agar kebutuhan minyak goreng di dalam negeri terpenuhi.

“Kami mendukung langkah Presiden Jokowi menghentikan ekspor minyak. Sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia seharusnya mustahil sampai kebutuhan di dalam negeri tidak tercukupi,” ujar Anggota Komisi VI DPR RI, Singgih Januratmoko.

Singgih menegaskan, kelangkaan minyak goreng di dalam negeri akan menjadikan citra pemerintah tidak bagus di dalam negeri maupun mancanegara,

“Pemerintah sudah beberapa kali membuat aturan agar kebutuhan dalam negeri tercukupi, tapi karena ketidakpatuhan terhadap hukum, akhirnya citra pemerintah dipertaruhkan,” tegas Singgih.

Kelangkaan minyak goreng beberapa waktu lalu, berimbas kepada dimensi politik

. Menurut Singgih, pihak-pihak oposisi bisa dengan mudah memainkan kelangkaan minyak goreng sebagai isu politik.

Imbasnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bisa turun. Dengan demikian, pelarangan ekspor minyak goreng ini menjadi strategis untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, sekaligus menekan dampak politisnya.

Singgih mengatakan, pemerintah bisa dipastikan terus mengevaluasi dan memonitor kebijakan larangan ekspor itu,

“Memang akan ada devisa yang berkurang, tapi akan terus dicarikan solusinya agar masyarakat tercukupi dan pengusaha CPO juga menikmati harga yang bagus,” pungkasnya.

Menurut Singgih, pemerintah memang harus turun tangan. Menyerahkan pada liberalisme pasar, memang menguntungkan,

“Di sisi lain, ada sifat serakah manusia yang menginginkan keuntungan besar tanpa peduli masyarakat di bawah,” ujarnya.

Ia menegaskan pemerintah harus hadir, ketika liberalisme hanya memakmurkan sedikit orang, tapi banyak orang lainnya terganggu atau tidak turut sejahtera.

Namun Singgih juga berharap penghentian ekspor juga tidak terlalu lama, "Maksimal enam bulan karena kalau terlalu lama akan berimbas tidak bagus juga kepada petani kelapa sawit," Imbuhnya.

Singgih berharap, kebijakan tersebut diikuti dengan pengawasan yang ketat sekaligus sanksi, “Dengana adanya pengawasan ketat serta sanksi yang kuat, para pemain industri CPO akan mentaati kebijakan pemerintah,” tuturnya.

Ia menyontohkan kebijakan kuota CPO untuk dalam negeri 30 persen, seperti yang telah diterapkan sebelumnya. Kebijakan tersebut, bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri dan 70 persen yang diekspor menguntungkan negara.

Persoalannya, ketika pengawasan dan sanksi tidak tegas, para oknum memanfaatkan celah tersebut untuk mengambil keuntungan pribadi,

“Harga CPO sedang tinggi, apalagi saat ini minyak bunga matahari yang dihasilkan Rusia dan Ukraina menurun. Bisa dipastikan permintaan CPO bakal naik juga,” ungkapnya.

Menurut Singgih, kebijakan menghentikan ekspor pangan ini juga dilakukan negara-negara lain. Alasannya, biasanya untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Selain itu bisa dijadikan dalih, agar komoditas pangan harganya stabil. (*)

Baca juga: Mulai 28 April 2022 Jokowi Larang Ekspor CPO dan Minyak Goreng hingga Ancaman Kejagung

Baca juga: 500 Remaja DPD LDII Banjarnegara Ikuti Sosialisasi Antisipasi Intoleransi dan Radikalisme

Baca juga: Peduli Cabang dan Ranting, UMP Purwokerto dan PWM Gelar Pengajian Ramadhan Bralingmascakeb

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved