Berita Semarang
Cerita Anak Jalanan Semarang Lawan Kerasnya Hidup Tanpa Bekal Imunisasi Dasar Lengkap
Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) masih jadi barang mewah bagi anak jalanan di Semarang.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: sujarwo
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) masih menjadi barang mewah bagi anak jalanan di Kota Semarang.
Para anak jalanan terpaksa tumbuh di tengah kerasnya Kota tanpa mendapatkan hak dasar kesehatan mereka.
Kendati digembar-gemborkan bahwa imunisasi gratis dan mudah diakses oleh pemerintah.
Faktanya, ada anak jalanan di Kota Semarang yang kesusahan mengakses pelayanan itu baik terkendala Administrasi Kependudukan (adminduk)maupun harus menghadapi pungutan liar (pungli).
Pengamatan Tribunjateng.com di lapangan, para anak jalanan banyak ditemukan di pusat kota maupun di pinggiran Kota Semarang.
Di antaranya banyak ditemukan di depan Swalayan ADA Banyumanik. Sekitaran Tugu Muda Semarang, depan Kampus Stekom Krapyak Semarang, maupun di sejumlah traffic light jalan arteri Kota Semarang.
Meskipun Pemerintah Kota mengklaim keberadaan anak jalanan di Kota Semarang sedikit.
Faktanya, mereka berjumlah puluhan yang harus hidup di jalanan dengan kondisi kesehatan yang tak terpantau.
Mereka terpaksa ikut bersama orangtuanya hidup di jalan.
Bahkan mereka terpaksa bekerja dengan menjadi pemulung, berjualan koran, dan mengemis.
Di antaranya Aldi (4) anak jalanan di Kota Semarang yang ikut hidup di jalan bersama ibunya.
Anak Jalanan Semarang
Aldi (4) malam itu tampak berlarian riang di pinggiran trotoar jalan. Di sudut traffic light perempatan jalan dekat Polda Jateng, Kota Semarang, Ibunya, Jumaria (27), tengah asyik mengenjreng kentrung untuk memanen uang koin.
Aldi tak jauh berbeda dengan anak seusianya, lincah dan riang.
Bedanya, ia anak jalanan yang tumbuh dengan kerasnya keadaan.
Meskipun tak ikut turun mengamen karena dilarang, ia harus mengikuti ibunya bekerja sebagai pengamen saat malam hari.
Gelandangan Semarang Jumaria memiliki 3 (tiga) orang anak. Termasuk Aldi (bukan nama sebenarnya).
Aldi adalah anak ketiga Jumaria gelandangan Semarang yang setiap harinya hidup di jalan sebagai pengamen. Dua anak lainnya, dititipkan ke masing-masing kakek-neneknya.
Anak pertama Jumaria saat ini sudah duduk di kelas 5 (lima) SD di Kota Salatiga.
Anak kedua duduk di kelas 2 (dua) SD di Yogyakarta.
"Anak ketiga ini memang hidup bersama saya dan suami. Kami tinggal di sebuah bangunan bekas hotel yang terbengkalai di Kota Semarang," paparnya kepada Tribunjateng.com, Jumat (22/4/2022) malam.
Jumaria saat ini masih kebingungan sebab nasib anak ketiganya tak semujur nasib dua kakaknya.
Dua kakaknya tersebut diambil oleh kakek-neneknya sejak lahir sehingga mereka mudah mengakses layanan kesehatan maupun pendidikan.
"Memang yang anak ketiga ini saya usahakan hidup bareng saya. Tapi itu nanti sekolahnya gimana karena dia belum imunisasi, kan itu syarat juga buat sekolah," papar Ria, sapaan akrab Jumaria.
Terkait imunisasi, nasib lebih baik dialami anak pertamanya yang hidup di Salatiga. Ia pernah diimunisasi meskipun tidak lengkap. Ia dapat akses imunisasi karena diikutkan ke Kartu Keluarga (KK) keluarga Neneknya.
"Ikut KK nenek saya atau buyut anak saya. Jadi gampang bisa imunisasi," tuturnya.
Sedangkan anak kedua Jumaria yang berada di Yogyakarta Sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Hal itu karena ikut Kartu Keluarga Neneknya.
Di status KK tersebut,Jumaria dan anaknya menjadi kakak dan adik. Bukan sebagai Ibu dan anak seperti semestinya.
"Anak ketiga usia 4 (empat) tahun. Lahir di Jogja dibantu PKBI setempat. Dibantu mereka. Beda sama anak ketiga ini," katanya.
Sebaliknya anak ketiga Jumaria tidak dapat Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) sama sekali lantaran tidak ada identitas baik surat Lahir dan buku pink (buku KIA).
Dokumen-dokumen tersebut diakuinya sudah hilang. Hilangnya dokumen itu tak lepas dari hidupnya yang berpindah-pindah di beberapa kota di Jawa Tengah seperti dari Prembun, Kebumen dan Pemalang.
"Saya terpaksa pindah-pindah karena saat itu anak saya sakit parah. Saya nyari obat. Ketahuan di Pemalang yang ternyata anak saya alergi susu sapi," ungkapnya.
Ia menyebut, memiliki kesadaran imunisasi lantaran untuk akses pendidikan seperti sebagai syarat untuk pendaftaran sekolah.
Akan tetapi, ia bingung mengurusnya dari mana.
Apalagi ia dan suaminya tak memiliki KTP.
Ia pernah memiliki KTP tapi hilang di Magelang.
Kendala suaminya juga sama. Suaminya asal Sulawesi pernah hidup menggelandang di Madiun, Jawa Timur lalu ke Semarang.
"Sekarang mau ngurus bingung, ruwet ngurusnya tak tahu dari mana," jelasnya.
Ia tak memiliki pengetahuan cukup apakah harus mengurusnya ke kota asal ke Salatiga atau ke Yogyakarta tempat lahir anak ketiganya.
Selain itu, di Kota Semarang tidak ada kepedulian baik dari Pemkot maupun dari lembaga yang peduli anak jalanan maupun gelandangan seperti dirinya.
Baginya, mereka menganggap gelandangan adalah sampah yang harus dibuang bukan diurus.
"Ya nanti coba saya diurus karena untuk syarat sekolah. Anak saya memang harus sekolah jangan sampai seperti saya dan suami. Hanya kerja ngamen di jalan," terangnya.
Lepas dari itu, ia tak khawatir jika anaknya tak mendapatkan imunisasi karena menurutnya anak akan tetap sehat.
Hal itu dipicu pula dari pengalamannya. Ia yang sejak umur 6 (enam) tahun hidup menggelandang di jalan sampai usianya sekarang 27 tahun tetap merasa sehat.
"Saya sendiri tak imunisasi dari kecil, sehat-sehat saja ," bebernya.
Gelandangan Semarang, Niken Sri Handayani (28) mengaku, sudah hidup di jalanan Kota Semarang sejak tiga tahun lebih.
Ia mengaku mulai hidup di jalanan Kota Semarang pada Oktober 2018. Setiap harinya, ia jualan tisu kering di traffic light depan Polda Jateng.
Ia hidup menggelandang bersama seorang anak perempuannya bernama Gendis (bukan nama sebenarnya) berusia 4 (empat) tahun.
Setiap harinya tidur di pos keamanan dekat makam pahlawan Kota Semarang.
Ia meski hidup di jalan sadar pentingnya imunisasi dasar bagi anak sangat penting. Akan tetapi perjuangannya tak mudah untuk mendapatkan imunisasi anak.
Ia harus berjalan kaki ke puskesmas Manyaran yang jaraknya 2,6 kilometer demi anaknya yang ketika itu masih usia 8 (delapan) bulan.Pun ketika di puskesmas, ia sempat dimintai uang Rp40 ribu oleh petugas puskemas dengan dalih sebagai biaya administrasi karena KTP luar Kota Semarang.
"Uang itu bagi orang umum mungkin kecil. Tapi bagi saya itu sangat besar apalagi saat itu uang saya tinggal Rp45 ribu sehingga kami berdua pulang jalan kaki lagi," katanya.
Ia mengaku, kesadaran anaknya harus diimunisasi karena akan berdampak baik bagi anak kelak.
Ia pun takut semisal anaknya tak diimunisasi dapat terkena penyakit seperti Hepatitis, cacar, TBC dan penyakit lainnya.
"Saya hidup di jalan mengelandang bukan karena kemauan. Dulu saya hidup normal di Jakarta bisa kerja tapi karena kondisi anak ini tidak diakui ayahnya jadi sementara kami hidup di jalan demi menyambung hidup, " ungkap Niken.
Semarang Jadi Magnet
Menurut data Dinas Sosial (Dinsos) Jawa Tengah tahun 2021 Populasi Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) di Jateng terdapat 4,6 juta jiwa.
PPKS terdapat 26 item pembagian termasuk gelandangan, anak gelandangan,fakir miskin dan lainnya.
Di Jateng terdapat 548 gelandangan, pengemis 865 orang, pemulung 2.789 orang dan anak jalanan 672 orang.
Jumlah tertinggi berada di kabupaten Cilacap terdiri anak jalanan 76 orang, gelandangan 37 orang, pengemis 61 orang dan pemulung 96 orang.
Sedangkan Kota Semarang memiliki anak jalanan 26 orang, gelandangan 3 (tiga) orang, pengemis 34 orang dan pemulung 65 orang.
Merujuk data tersebut Kota Semarang termasuk berada di urutan bawah daerah dengan jumlah gelandangan, anak jalanan maupun PGOT.
Akan tetapi fakta di lapangan, gelandangan dan anak jalanan jumlahnya cukup banyak di Kota Semarang.
Seperti dituturkan Sumaria dan Niken yang kompak menyebut anak gelandangan di Semarang cukup banyak.
Sejauh pengamatan mereka, anak jalanan di Kota Semarang lebih dari 70 anak.
Mereka berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah.
Mereka hidup menggelandang bersama orangtuanya bahkan adapula yang bersama kakek-neneknya.
Jumlah anak gelandangan cukup banyak yang tersebar terutama di daerah Kecamatan Banyumanik, Semarang Tengah, Semarang Selatan, Pedurungan dan lainnya.
"Mereka lebih gesit dan pintar kalau sembunyi dari buruan petugas. Mereka juga tak muncul di pusat Kota. Tapi di sisi selatan Kota Semarang yang jarang dipantau tapi secara ekonomi ramai. Misal di Banyumanik," jelas Jumaria.
Maraknya jumlah gelandangan dan anak jalanan di Kota Semarang tak lepas dari kondisi Semarang yang menjadi salah satu pusat ekonomi penting di Jateng.
Hal itu diakui pula oleh Kepala Dinsos Jateng Harso Susilo.
"Semarang itu Ibu Kota Jawa Tengah, pusatnya ekonomi. Kalau di daerah adanya apa? Paling Alun-alun, kantor Kecamatan," kata Harso saat ditemui Tribunjateng.com di kantornya, Selasa (26/4/2022).
Terkait tidak kesesuaian data, Dinsos Jateng berdalih data tersebut tidak sesuai kondisi di lapangan lantaran gelandangan dan anak jalanan tidak hidup menetap.
"Mereka tidak menetap di situ. Di semarang ya paling di jalanan lalu pindah," bebernya.
Pihaknya menyebut, tetap peduli terhadap gelandangan dan anak jalanan melalui Dinsos di Kabupaten dan Kota
ketika mereka terkena razia akan dititipkan ke rumah singgah.Mereka akan ditampung di tempat tersebut selama 14 hari untuk dicari keluarganya.
Selepas ketemu maka akan dikembalikan ke keluarga.
Sebaliknya ketika tidak ketemu maka akan diberikan ke panti sosial.
"Bantuan langsung memang tidak ada. Tapi kami bisa menampung melalui Dinsos Kabupaten/kota," terangnya.
Dinsos Jateng juga mengklaim telah peduli kesehatan gelandangan dan anak jalanan bekerja sama dengan pihak lain seperti BPJS kesehatan dan Dinkes.
Semisal di Kota Semarang yang mana akses kesehatan gratis bagi masyarakat.
Hanya saja kendalanya administrasi kependudukan sebab akses itu hanya dapat dinikmati hanya warga Kota Semarang saja.
"Contohnya ada gelandangan asal Wonosobo sakit tak punya KTP maka tak bisa akses gratis. Itu jadi masalah utama yaitu administrasi kependudukan. Tapi kami bantu dengan mengkomunikasikan atau menjembatani ke daerah asal," terangnya.
Terpisah,Sub Koordinator Tuna Susila dan Perdagangan Orang (TSPO) Dinas Sosial Kota Semarang, Bambang Sumedi, menjelaskan, Kota Semarang menjadi favorit tujuan para gelandangan karena pusat ekonomi di Jawa Tengah.
Semarang sebagai kota besar yang mana masyarakatnya masih memiliki tingkat sosial tinggi.
Tak heran orang duduk di pinggir jalan saja dengan memasang wajah kasihan hampir dipastikan akan mendapatkan belas kasihan masyarakat dengan memberikan uang maupun makanan.
Kondisi itulah yang banyak dimanfaatkan para gelandangan untuk mencari uang.
"Banyak kegiatan sosial di jalanan dilakukan warga Semarang seperti Jumat berkah dan sodakoh. Itu yang membuat kumuhnya kota semarang, apalagi ada manusia karung yang memanfaatkan momen itu," kata Bambang.
Terkait praktik anak gelandangan di Kota Semarang, ia menjelaskan, biasanya diajak orangtuanya untuk berjualan koran dan mengemis.Alasan orangtua mengajak anaknya turun ke jalan sebab akan lebih memantik belas kasihan warga.
"Pengamatan kami hanya ada belasan anak saja yang di jalan. Semisal ketangkap sama orangtuanya paling di data dan kami minta jangan mengulang," sebutnya.
Bambang mengaku, dalam Perda Kota Semarang Nomor 5 (lima) Tahun 2014 tentang penanganan anak jalanan, gelandangan, dan pengemis memang belum menyangkut persoalan kesehatan apalagi imunisasi bagi anak jalanan.
Namun ketika ada anak dan gelandangan dewasa yang ditemukan sakit maka tetap diurus.
Ia mengatakan, orang telantar tak memandang usia baik dewasa maupun anak akan tetap dirujuk ke rumah sakit dengan surat rekomendasi Dinas Sosial.
"Pakai rekom Dinsos biaya gratis meskipun luar kota tetap gratis dengan catatan orang telantar kondisi sakit bukan karena kecelakaan," ujarnya, Jumat (29/4/2022).
Selain itu, gelandangan yang terkena razia akan diakseskan pada layanan pemeriksaan kesehatan seperti tes HIV, tes Tuberkulosis, gula darah, tes antigen dan pemberian vaskin.
Terakhir hal itu dilakukan pada operasi gabungan PGOT pada 30 April 2022 yang mana ketika itu terjaring 32 gelandangan.
"Kalau imunisasi bagi anak jalanan mohon maaf belum pernah," terangnya.
Ia menyebut, Pemkot Semarang memang gencar melakukan razia gelandangan.
Pihaknya meninginkan tidak ada gelandangan di Kota Lunpia.
"Mereka itu semaunya sendiri. Ketangkap Masukan ke panti. Masukan lembaga pelatihan tapi tidak mau. Anak-anak gelandangan juga dimasukan ke panti. Tapi sama tidak mau diatur. Hal itu jadi kendala," terangnya.
Kepala Satpol PP Kota Semarang Fajar Purwoto mengatakan, ada beberapa titik jalan arteri Semarang yang sering menjadi lokasi mangkal para gelandangan.
Di antaranya di Jalan Siliwangi, Soekarno-Hatta, dan Jembatan Banjir Kanal Barat.
"Tiga titik itu yang banyak gelandangan. Lokasi lainnya biasa saja," terangnya.
Ia mengatakan, para gelandangan yang berada di jalanan Semarang mereka ada yang warga ber-KTP Kota Semarang adapula yang luar kota Semarang.
Pihaknya, sekali operasi rata-rata menjaring belasan hingga puluhan gelandangan.
"Kita kemarin saat ramadan sewaktu operasi ditangkap 19 orang gelandangan. Kadangpula 30 orang. Di antara mereka ada 2 (dua) sampai 3 (tiga) anak jalanan," terangnya.
Benang Ruwet
Pemerhati Kesehatan Ibu dan Anak dari Kampus Undip Semarang, Dr. Dra. Ayun Sriatmi, MKes mengatakan, apapun kondisinya setiap anak berhak mendapatkan layanan dasar termasuk layanan kesehatan yang berkaitan dengan imunisasi.
Lantaran hak dasar maka pemerintah harus memenuhi tanpa memandang status maupun kondisi anak termasuk mereka para anak jalanan.
"Negara kita sudah meratifikasi 10 hak anak jadi karena hak dasar seperti layanan kesehatan sudah seharusnya Pemerintah berkewajiban memenuhi," ungkapnya saat dihubungi Tribunjateng.com, Selasa (10/5/2022).
Ada dua kendala bagi anak jalanan dalam mengakses kesehatan.
Pertama mereka tak punya tinggal yang jelas.Hidup berpindah-pindah bersama orangtuanya.
Kedua, tidak punya identitas kependudukan akibat hidup berpindah-pindah.
"Akta kelahiran bahkan bisa saja mereka tak punya karena lahir di jalan.Nama pun paling orang tua saja yang tahu. Artinya identitas diri saja tak punya," terangnya.
Baginya, jumlah anak jalanan seperti fenomena gunung es artinya yang tampak tidak sebesar yang di bawahnya.
Sejauh ini basis data pemerintah terkait anak jalanan juga berdasarkan yang ditemukan bukan yang dicari.
"Kalau data berdasarkan yang ditemukan itu seperti sampling saja, setahun muter ketemu 10 orang ya jumlah anak jalanan 10 orang, apakah data itu benar, kan belum tentu, bisa jadi yang tidak ketemu lebih banyak," terangnya.
Ia menyebut, pemerintah ketika ada data tidak bisa langsung mengklaim jumlah anak jalanan maupun gelandangan yang terdata tersebut.
"Itu klaim masih mentah, absurd dan tidak jelas," tuturnya.
Sementara salah satu 10 hak anak yang sudah diratifikasi di antaranya juga menyebutkan hak atas identitas.
Pemerintah tak hanya memberikan hak layanan kesehatan dasar tetapi juga layanan untuk identitas.
"Jadi ga ada alasan karena mereka tidak mendaftar dan lain sebagainya," ucapnya.
Ia melanjutkan, selama ini kriteria pendataan kependudukan selama ini masih berbasis masyarakat yang harus hadir.
Hal itu tidak mungkin dilakukan oleh kelompok masyarakat miskin seperti gelandangan yang melahirkan anak jalanan.
"Dari kondisi itu, apakah kelompok tersebut harus ditinggal Pemerintah, tentu saja tidak boleh, kalau ditinggal berarti pemerintah abai terhadap hak-hak dasar anak," tegasnya.
Dijelaskan, berangkat dari kewajiban itu maka pemerintah punya kewenangan.
Kebijakan pemerintah memiliki hak kewenangan mengatur, menata, membuat regulasi dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut.
Selama ini sekiranya sudah ada Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam konteks imunisasi dan administrasi kependudukan.
Hanya saja, kebijakan itu meskipun tujuannya baik tetapi seringkali implementasi tidak diharapkan.
Implementasi yang buruk terjadi lantaran dua faktor penyebab.
Pertama kebijakan atau program tersebut tidak jelas sehingga tidak bisa diimplementasikan.
Kedua pelaksanaan tidak baik yang mana ada beberapa poin hal itu dapat terjadi.
Poin tersebut seperti dimulainya ada masalah di sisi pelaksana yaitu mereka yang melaksanakan kebijakan itu.
"Tidak semua aparat semua idealis. Ada yang cuek dan itu ada dan kita tidak menaifkan kondisi itu," terangnya.
Berikutnya, saling lempar tanggung jawab antar lembaga karena kebijakan yang tumpang tindih.
Kemudian regulasi teknisnya, kebijakan kadangkala baik tapi Kakinya tidak ada sehingga bisa dibilang kebijakan itu tidak bisa berjalan.
Ketika bisa berjalan pun dalam kondisi pincang.
Menurutnya, harus ada regulasi teknis yang menjabarkan kondisi itu.
Jangan sampai regulasinya ada juklak juknisnya tidak ada atau tidak jelas sehingga pelaksana di lapangan takut.
"Satu kebijakan itu sifatnya makro atau global. Nah di masyarakat kondisinya tidak sama sehingga dibutuhkan pengecualian- pengecualian," ungkapnya.
Layanan imunisasi dasar lengkap secara regulasi disebutkan setiap bayi sampai dua tahun harus mendapatkan layanan tersebut.
Layanan itu wajib ada di puskesmas dan posyandu.
Kelompok gelandangan ini tidak mungkin datang ke puskesmas maupun posyandu.
Maka yang diperlukan pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan tentunya harus turun ke jalan melakukan penjaringan.
"Ketemu mereka di jalan langsung rujuk ke puskemas lalu di imunisasi, di data. Kalau menunggu mereka punya identitas dulu ya lama mereka nanti sudah pindah lagi," ungkapnya.
Menurutnya, tidak alasan pemerintah tidak melakukan imunisasi dasar lengkap ke anak jalanan lantaran terkendala adminduk.
"Mereka anak jalanan harus dan wajib diimunisasi," ucap Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro tersebut.
Diakuinya, dalam pelaksanaan pemberian imunisasi dasar lengkap diperlukan pula peranan aktif orangtua.
Sebab, ketika orang tua tidak aktif hal itu menjadi kendala.
"Dilemanya di situ, kadang informasinya tidak sampai. Ya kayak benang ruwet tapi bukan berarti harus dihindari sebaliknya harus kita uraikan," bebernya.
Sementara itu, Kabid Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas kesehatan Kota Semarang, Nur Dian Rakhmawati mengatakan, ada dua program yang dilakukan oleh petugas Puskemas dalam memberikan pelayanan imunisasi kepada anak di Kota Semarang termasuk anak gelandangan.
Dua program itu masing-masing imunisasi Kejar dan Sweeping.
Khusus untuk anak jalanan, pihaknya melakukan sweeping mencari anak jalanan yang belum diimunisasi.
Biasanya hal itu dilakukan per wilayah puskesmas.
"Ketika program imunisasi kejar sudah maka dilanjutkan dengan sweeping untuk memastikan anak-anak yang belum diimunisasi termasuk anak jalanan," kata dia, Selasa (26/4/2022).
Ia mengatakan, sejauh ini anak jalanan yang sudah mendapatkan pelayanan tersebut biasanya di Kawasan Gunung Brintik yang masuk ke wilayah puskesmas Pandanaran.
Kegiatan itu biasanya dilakukan pada sore hari sepulang mereka berada di jalanan.
"Puskesmas akan sweeping per wilayah untuk menyisir anak jalanan yang belum mendapatkan imunisasi," ungkapnya.
Imunisasi akan tetap diberikan tanpa melihat status anak tersebut sebagai anak jalanan.
Biasanya memang terkendala terkait data kependudukan.
"Semisal anak jalanan tidak ada identitasnya tetap akan kami imunisasi. Nanti dibantu dengan RT, RW dan kelurahan setempat yang menjadi wilayah tempat imunisasi," terangnya.
Di samping itu, adapula program bulan imunisasi nasional yang mana tidak memandang status semua anak harus imunisasi termasuk anak jalanan.
"Nanti bulan Agustus kami lakukan Bulan Imunisasi Nasional (BIAN) khususnya imunisasi campak," ungkapnya.
Ia menyebut, potensi anak jalanan belum imunisasi juga kecil sebab ketik melahirkan pasti mengakses fasilitas pelayanan kesehatan.
"Kalau ada data, pasti akan kita kejar.Insya Allah tidak akan los, untuk diimunisasi anak di Semarang," tuturnya.
Tetapi semisal ada kasus terlewatkan biasanya terjadi saat ada gelandangan yang mengajak pindah-pindah anaknya sehingga pihaknya tak memiliki data.
Akan tetapi ketika kasus itu ditemukan di Kota Semarang, ia menjamin anak tetap akan diimunisasi bahkan dari tahap awal.
"Imunisasi dasar lengkap itu wajib. Kita berikan dari awal tapi tidak semua. Semisal untuk imunisasi BCG untuk TBC kita lakukan pemeriksaan dulu supaya terdeteksi belum adanya antibodi penyakit tersebut. Ketika sudah pernah terpapar tidak akan diberikan dan sebaliknya," jelasnya.
Kota Semarang ada 37 puskesmas. Di setiap puskesmas tersebut semuanya melayani imunisasi dasar lengkap (IDL) secara gratis.
Menurut Dian, imunisasi tidak ada biaya sama sekali sebab semua pelayanan publik gratis termasuk mengakses puskesmas.
"Tidak ada pungutan apapun di puskesmas kecuali di luar pelayanan semisal meminta medical check up itu beda lagi," terangnya.
Ia menyebut, target imunisasi bagi anak di Kota Semarang sudah melampaui target.
Capaian tahun 2021 sebesar 99,66 persen dari target 95 persen atau dari sasaran 23.764 anak tercapai 23.956 anak.
"IDL tidak 100 persen tapi 95 persen karena memakai data estimasi dari jumlah penduduk, baru diakhir tahun baru ketahuan jumlahnya," ungkapnya.
Untuk capaian target tahun ini, pada minggu ke 16 sudah 33,55 persen dengan sasaran 9.033 anak.
Target triwulan 2021 sebesar 29,23 persen sehingga angka itu sudah melampui target yang telah ditentukan.
"Tiap minggu,bulan,dan triwulan kami selalu monitoring dan evaluasi soal imunisasi ini," imbuhnya.
Kendati demikian, pihaknya menemui berbagai kendala yang ditemukan di lapangan dalam memberikan imunisasi bagi anak jalanan berupa kendala pelaporan yang tidak maksimal lantaran mereka tidak tercatat di Adminduk.
Permasalahan ini berusaha dicarikan solusi dengan bekerjasama lintas sektoral terutama bersama Disdukcapil dan kantor Kelurahan.
Namun biasanya petugas tetap memberikan imunisasi dengan terlebih dahulu menggunakan data manual sebagai asas keadilan bagi warga yang tak memiliki NIK.
Sebab mereka berhak pula mengakses pelayanan kesehatan termasuk imunisasi.
Data manual itu juga menjadi dasar yang akan disampaikan ketika ada pemeriksaan BPK, Inspektorat maupun lembaga pengawas lainnya.
"Untuk data manual imunisasi tidak tahu pasti karena data bergerak di masing-masing puskesmas," ucapnya ketika dikonfirmasi soal data tersebut.
Sekretaris Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Semarang Suryanto mengaku, setiap gelandangan di Kota Semarang memang mengalami kendala soal data adimistrasi kependudukan termasuk anak gelandangan.
Pihaknya tak sembarangan dalam menerbitkan data kependudukan sebagai cara mencegah dokumen ganda.
Menurutnya, gelandangan di kota Semarang umumnya para warga pendatang.
Maka bisa saja sudah punya dokumen kependudukan dari kota asal sehingga tidak diperbolehkan menerbitkan dokumen ganda.
"NIK kan tunggal kita ga boleh menerbitkan dokumen ganda," terangnya.
Semisal gelandangan punya dokumen kependudukan seperti KTP tapi hilang berarti harus ada laporan dari kepolisian yang dilakukan yang bersangkutan atau yang dikuasakan.
Ia menambahkan, ketika ada gelandangan yang berasal dari luar Kota Semarang kemudian melahirkan anak di Kota Semarang maka menganut asas domisili.
"Yakni dengan dibuktikan dokumen kependudukan bukan domisili tempat tinggal," imbuhnya.
Ia melanjutkan, ketika ada anak lahir di semarang maka dokumen surat kelahiran dari Semarang.
Akan tetapi untuk penerbitan akte kelahiran berasal dari kota asal orangtua tersebut.
Semisal orangtua dari Demak ber-KTP Demak maka yang menerbitkan kota tersebut.
"Tidak bisa Semarang nerbitin. Kita nganut asas domisili. Dulu menganut asas peristiwa sekarang pakai asas domisili," katanya.
Ia mengungkapkan, begitupun dengan akses layanan kesehatan bagi anak gelandangan memang harus ada syarat dokumen.
Pihaknya menganut asas domisili karena tidak boleh menerbitkan dokumen secara asal.
Gelandangan luar Kota Semarang maka harus mengurus kota asal misal dari Kendal ya harus mengurus ke Kendal.
"Tidak bisa sembarangan harus ada kesadaran dari orangtuanya agar anak dapat dokumen," imbuhnya.
Ia mengatakan, ada program yang menyasar penduduk rentan yang tak memiliki dokumen kependudukan.
Program itu menyasar di panti asuhan, panti sosial, lembaga pemasyarakatan dan Yayasan.
Kegiatan itu rutin dilakukan untuk melakukan perekaman.
"Ada jadwal dan permintaan dari panti dan yayasan yang meminta perekaman kependudukan," katanya.
Layanan itu termasuk menyasar gelandangan seperti menyisir di panti sosial di Tugu.
Pihaknya ke sana untuk perekaman. Misal belum dilakukan perekaman maka akan direkam dan sebaliknya.
"Semua harus penduduk harus memiliki identitas, nah pemerintah di situ harus hadir," tandasnya. (*)