FOKUS
FOKUS : Doa Dewi Kunti
KOCAP kacarita, Dewi Kunti duduk termenung di pinggir Sungai Gangga. Dengan hati hancur. Sangat hancur.
Penulis: achiar m permana | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Achiar M Permana
Wartawan Tribun Jateng
KOCAP kacarita, Dewi Kunti duduk termenung di pinggir Sungai Gangga. Dengan hati hancur. Sangat hancur.
Beberapa detik sebelumnya, Kunti baru saja melepaskan keranjang berisi bayi merah ke aliran Sungai Gangga. Bayi itu tak lain buah hatinya: Karna.
Kunti terpaksa menghanyutkan Karna ke Sungai Gangga demi menghindari fitnah. Karna lahir ketika Kunti belum bersuami. Dia masih perawan berusia belasan tahun.
Syahdan, saat itu Kunti yang tengah mencoba mantra sakti Adityaherdaya pemberian Resi Druwasa.
Mantra itu bisa memanggil dewa, siapa pun, yang dikehendaki. Kunti tidak menyangka, upaya coba-cobanya benar-benar menghadirkan Dewa Surya.
Singkat cerita, sang dewa yang telanjur turun ke dunia, kemudian menghadiahkan berkah berupa bayi dalam rahim Kunti.
Sebenarnya Kunti senang mendapatkan anugerah bayi rupawan. Akan tetapi dia takut dan malu, jika sampai orang-orang mengetahui dirinya telah melahirkan seorang anak, padahal ia belum menikah.
Maka, Kunti pun memutuskan untuk menghanyutkan bayi tersebut di Sungai Gangga.
Kunti tidak segera meninggalkan Sungai Gangga setelah arus sungai itu membawa bayinya ke arah hilir. Matanya nanar memandang aliran sungai tersebut,
Sesungguhnya, Kunti amat cemas akan nasib Karna. Dia tidak pernah tahu, bakal sampai ke mana aliran Sungai Gangga membawa keranjang berisi bayinya.
Dia juga tidak tahu, siapa yang bakal menemukan putranya. Dia bahkan tidak bisa memastikan, apakah putranya bakal selamat atau tidak.
Sang dewi hanya bisa memasrahkan nasib sang putra pada aliran Sungai Gangga.
“Aku tidak punya daya untuk menyelamatkan putraku. Aku hanya bisa berharap, putraku selamat dalam lindungan-Mu,” kata Kunti lirih.