Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Banjir Rob

Warga Pesisir Semarang Tak Takut Kampung Bakal Tenggelam, Anggap Banjir Rob Seakan Keluarga

Ternyata ancaman banjir rob di kawasan pesisir Kota Semarang tak bikin goyah warganya.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: Daniel Ari Purnomo
Tribun Jateng/ Budi Susanto
Dua orang warga RT 04 RW 15, Tambak Lorok, Kelurahan Tanah Mas, Semarang Utara, berjibaku untuk melewati genangan air yang mengepung jalan pemukiman, Selasa (16/11/2021). 

TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Ternyata ancaman banjir  rob di kawasan pesisir Kota Semarang tak bikin goyah warganya. 

Bahkan, mereka telah menganggap rob sebagai keluarga. 

Musababnya, rob telah bertahun-tahun menemani mereka yang rajin mengunjungi hingga ke dalam rumah. 

Baca juga: Pabrik Sering Libur Terendam Banjir Rob, Ratusan Buruh Semarang Pilih Resign

"Rob sudah menjadi keluarga," kata Ketua RW 16 Tambak Lorok, Tanjung Mas, Semarang Utara, Slamet Riyadi kepada Tribunjateng.com, (22/6/2022).

Ia mengatakan, rob sudah dirasakan warga Tambak Lorok sejak tahun 2010.

Kondisi banjir rob paling parah terjadi di tahun 2022.

Menurutnya, banjir rob kian parah sebab penurunan muka tanah yang signifikan, pengambilan air tanah yang masif dan lainnya.

"Warga Tambak Lorok sudah terbiasa dengan air rob hanya saja debit air rob kemarin sangat parah," terangnya.

Pihaknya mengaku, pernah mendengar kampung tenggelam di Demak dan Pekalongan namun tak dirisaukan oleh para warga.

Ia hanya meminta pemerintah segera membangun tanggul laut dan peninggian jalan.

Apalagi pemerintah merencanakan Tambak Lorok sebagai Kampung Wisata Bahari.

"Harapannya pemerintah menindaklanjuti persoalan di Tambak Lorok karena bagian dari warga Kota Semarang," tegasnya. 

Sekretaris RT 4 RW 13 Tambak Lorok, Joko Maryono, mengatakan, kampungnya tidak takut akan tenggelam.

Dalihnya karena masih ada jarak dengan bibir pantai sekira puluhan meter.

"Kalau dari rumah saya masih ada jarak dengan bibir pantai," ungkapnya. 

Ia pun mengenang, kampungnya mulai kenal rob di tahun 1997.

Kemudian di atas tahun 2015 kian parah.

Hal itu dipicu muara sungai banyak yang ditutup pemerintah.

Maksudnya, banyak muara sungai yang dialih fungsikan menjadi rumah pompa air.

Pengamatannya, pompa air ada di Tenggang, Cilosari Dalam, Kalibaru, Tanah Mas, dan lainnya. 

Kondisi itu kian memperparah banjir rob di wilayah pesisir Semarang.

Muara-muara itu sebenarnya menjadi jalan masuk atau tempat tampungan limpasan air pasang laut.

Namun adanya rumah pompa membentengi air laut sehingga tak dapat masuk ke muara sungai.

Sementara keberadaan rumah pompa hanya berfungsi mengatasi air hujan.

"Jadi rumah pompa tak efektif malah memperparah rob. Kalau mau solusi efektif dengan biaya rendah ya gali tuh sungai-sungai di Semarang biar ga dangkal," tuturnya. 

Menurutnya, kondisi sungai di Kota Semarang terhitung dangkal sehingga tak mampu limpasan air laut maupun air hujan.

Belum lagi dapat kiriman dari air wilayah atas.

"Ya solusi itu memang tidak dapat menghilangkan sepenuhnya rob tapi limpasan air pasang setidaknya tak semakin parah," jelasnya. 

Warga RT 9 RW 15 Tambak Lorok, Amron menuturkan, warga sebenarnya memiliki rasa takut kampungnya tenggelam.

Hanya saja mereka berpendapat Tambak  Lorok dapat diselamatkan berbeda dengan kondisi Demak dan Pekalongan.

Hanya saja, penyelamatan perlu lekas dilakukan.

"Tambak Lorok sebenarnya sudah tak layak huni tapi hendak kredit rumah di daerah kawasan Semarang atas kerja juga di laut.

Selain itu, warga juga sudah lama mengakrabi rob, adaptasi sudah kentel sehingga rob dianggap biasa saja," terangnya. 

Terpisah,menurut Pakar Lingkungan dan Tata Kota Unissula Semarang, Mila Karmila, ada beberapa wilayah permukiman pesisir Kota Semarang yang terancam tenggelam.

Di antaranya di Kecamatan Genuk meliputi Trimulyo, Terboyo Wetan dan Terboyo Kulon.

Kemudian di Kecamatan Semarang Utara yakni di Tambak Lorok dan Tambakrejo.

"Kondisi itu tidak bisa dibiarkan, apakah harus disuruh tenggelam? tentu harus ada upaya usaha pemerintah membuat warga di permukiman itu hidup layak," ucapnya kepada Tribunjateng.com, Rabu (22/6/2022).

Deretan kampung itu terancam tenggelam lantaran ada beberapa indikator.

Di antaranya disebabkan masifnya pembangunan di kawasan pesisir yang menyebabkan kawasan permukiman pesisir alami penurunan muka tanah.

Di samping itu, terjadi kenaikan permukaan air laut.

Hal itu diperparah dengan masifnya pengambilan air tanah.

"Kalau itu dihentikan mungkin saja kawasan permukiman tenggelam dapat terhindar," bebernya.

Ia mengatakan, penanganan kampung pesisir agar terbebas dari rob juga tidak dapat dilakukan secara sepotong -potong atau parsial saja.

Tetapi dilakukan secara holistik agar kondisi permukiman pesisir kian tenggelam dapat dihindarkan.

"Jangan bangun yang berat-berat di pesisir seperti kawasan industri, kalau sudah ada ya berhentilah karena dari industri itu kebutuhan air tanah juga dikuras habis," tegasnya.

Ia menilai, konservasi mangrove menjadi solusi dari persoalan tersebut.

Konservasi mangrove di pesisir Semarang sebenarnya sudah masuk dalam Peraturan Gubernur Jateng (Pergub) Nomor 24 tahun 2019.

Beberapa poin dalam Pergub menyebutkan, Pemprov Jateng menargetkan rehabilitasi ekosistem mangrove seluas 750 hektare dari tahun 2019 hingga 2023.

Tercatat di Kota Lumpia ada 62,9 hektare lahan magrove yang hendak dilakukan konservasi.

Hanya saja, lanjut Mila, praktik konservasi mangrove di lapangan belum ada langkah sistematis yang dilakukan pemerintah.

Padahal mangrove menjadi solusi tahan lama dibandingkan bangunan infrastruktur.

"Tanggul laut bukan solusi yang bersifat temporer, harus dibarengi dengan konservasi mangrove," paparnya.

Menurutnya, konservasi mangrove perlu dilakukan secara kombinasi, artinya boleh dilakukan pembuatan tanggul laut tapi bersifat sementara.

Hal itu melihat kondisi pesisir Semarang di dua kecamatan tersebut yang sudah alami abrasi parah.

"Di belakang tanggul nantinya dilakukan konservasi mangrove secara masif sehingga ketika tanggul itu pecah sudah terbentuk sabuk mangrove," tuturnya.

Terpisah, Manajer advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, Iqbal Alma menyebut, bencana rob memang sering terjadi bahkan menjadi bencana langganan di wilayah pesisir utara Jawa Tengah.

Bencana ini menjadi bencana yang seakan diundang oleh manusia khususnya pemangku kebijakan.

Rob yang terjadi bukanlah suatu kiriman Tuhan yang terjadi begitu saja atau tiba-tiba.

"Bencana ini lahir dari proses panjang eksploitasi manusia terhadap lingkungannya," ujarnya seperti keterangan tertulis diterima Tribunjateng.com.

Pihaknya mendesak Pemerintah baik pada tingkat kota, provinsi, maupun nasional untuk menghentikan segala bentuk pembangunan yang eksploitatif dan merenggut ruang hidup masyarakat wilayah pesisir.

Menghentikan rencana relokasi mangrove untuk kawasan industri dan pembangunan tol tanggul laut Semarang - Demak.


"Kami juga meminta untuk membentuk strategi mitigasi bencana berdasarkan klasifikasi kelas dan memperhatikan kelompok-kelompok rentan dan marginal," tandasnya. (Iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved