Cerita Warga Sragen Jual Beli Fosil Sangiran dan Mitos Balung Buto Ampuh Sembuhkan Penyakit
Cerita lengkap jual beli fosil manusia purba dan mitos balung buto yang ampuh mengobati segala macam penyakit.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUNJATENG.COM, SRAGEN - Sejak puluhan tahun silam, Desa Krikilan Kecamatan Kalijambe sudah ramai dikunjungi orang.
Pembangunan di kawasan itu pun diutamakan. Akses jalan dibangun. Penerangan dicukupi.
Desa itu juga kerap dikunjungi orang dari luar, baik peneliti maupun wisatawan.
Baca juga: Usai Event SangiRun, Pengunjung Museum Purbakala Sangiran Sragen Meningkat

Ada yang istimewa dari desa tersebut rupanya. Wilayah itu menyimpan "harta karun" yang tidak dimiliki daerah lainnya.
Bukan emas atau sumber energi yang mahal, melainkan fosil makhluk purba yang banyak muncul di permukaan.
Ini yang membuat desa itu mendapat perhatian hingga lebih cepat pembangunannya.
Fosil itu sebagian kini disimpan di museum Manusia Purba Sangiran, Klaster Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Sragen.
Museum Manusia Purba berada di kawasan situs Sangiran yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Di situ pengunjung bisa membayangkan bagaimana suasana bumi Sangiran pada rentang 200.000 hingga 2 juta tahun lalu.
Aneka fosil flora dan fauna purba yang masih asli dipajang di dalam kaca.
Termasuk replika tengkorak manusia purba Homo Erectus.
Fosil yang diberi nama Sangiran 17 itu sekaligus menjadi masterpiece nya Sangiran.
Tengkorak yang diperkirakan berusia 1,25 juta tahun itu menjadi rujukan penting dalam rekonstruksi figur Homo Erectus Jawa.
Namun siapa sangka, sebelum museum itu berada, warga sudah akrab dengan keberadaan fosil purba tersebut.
Hanya warga tak mengetahui fosil itu memiliki nilai penting bagi sejarah peradaban umat manusia.
Fosil tulang atau kerangka hewan purba kala itu mudah saja ditemukan warga.
Jejak peninggalan kehidupan purba itu berserak di lahan-lahan warga atau di tanah perbukitan.
Warga bahkan tak perlu menggali untuk mendapatkan fosil purba. Ini diakui Toto, warga Desa Krikilan, Kalijambe.
Warga biasa menyebut tulang belulang hewan purba itu sebagai Balung Buto.
Ini karena bentuknya yang besar atau raksasa melebihi ukuran tulang hewan umumnya saat ini.
Tulang itu bahkan sempat dipercaya bisa menyembuhkan penyakit atau berfungsi untuk pengobatan.
"Biasanya terbawa longsoran, habis hujan, " katanya, Selasa (28/6/2022)
Nama Situs Sangiran mulai dikenal sejak seorang peneliti Belanda bernama Von Koenigswald melakukan penelitian pada tahun 1934.
Kala itu, Von Koenigswald menemukan alat-alat batu hasil budaya manusia purba di Situs Sangiran.
Hingga pada tahun 1936 ditemukanlah fosil manusia purba pertama di Situs Sangiran.
Setelah itu, tahun demi tahun penelitian semakin banyak dilakukan di Sangiran yang menghasilkan berbagai temuan, baik berupa fosil manusia purba, fosil hewan, alat tulang, dan alat batu.
Dalam perjalanannya, penelitian dilanjutkan pemerintah Indonesia dengan melibatkan para ilmuan atau ahli arkeologi.
Bersamaan dengan itu, warga juga masih kerap menemukan fosil di lahan.
Sementara Sangiran semakin dikenal masyarakat internasional.
Para turis pun silih berganti mengunjungi Sangiran.
Tak sekadar berkunjung, mereka rupanya juga tertarik membawa pulang fosil dari Sangiran.
Peluang itu dimanfaatkan warga untuk meraup keuntungan.
Jual beli fosil pun menjadi hal lazim kala itu.
Banyak fosil yang ditemukan warga di alam tak jelas rimbanya setelah dijual.
"Jadi yang ada di museum sekarang, itu hanya sedikit dari fosil yang ada di Sangiran, " katanya.
Ini tentu menjadi pukulan berat dunia penelitian. Jual beli fosil purba sama saja menghilangkan potongan sejarah yang penting bagi dunia.
Padahal pemerintah telah menetapkan kawasan Sangiran dan sekitarnya seluas 56 km persegi sebagai daerah situs cagar budaya.
Hingga pemerintah tegas menindak warga yang melakukan praktik jual beli fosil.
Cara itu cukup ampuh untuk malahirkan efek jera.
Setelah itu, praktik ilegal tersebut bisa ditekan.
"Pernah ada yang diproses hukum, " katanya.
Pemerintah melalui Balai Pelestarian Situs Manusia Purba memberikan solusi bagi warga yang menemukan fosil di daerahnya.
Warga harus menyerahkan benda arkeologi yang ditemukannya ke balai.
Sebagai gantinya, warga akan diapresiasi dengan biaya pengganti yang setimpal.