Berita Banyumas
Ada Luka di Balik Indahnya Tarian Lengger Banyumas
Lengger kesenian tari tradisional yang berkembang di wilayah Banyumas dan sekitarnya.
Penulis: Imah Masitoh | Editor: sujarwo
Sebagian masyarakat mungkin kurang suka dengan gaya busana penari lengger yang demikian. Namun sebagian masyarakat lain tidak mempermasalahkan karena menganggapnya sebagai tradisi.
Saat ini pun sudah ada beberapa modifikasi cara berpakaian lengger, seperti menggunakan kebaya atau manset sehingga terlihat lebih tertutup. Terkait gaya berbusana ini, penari biasanya juga menyesuaikan permintaan pengundangnya.
Ini juga pernah dialami lengger lanang Otniel Tasman. Pada suatu undangan untuk mengisi acara keagamaan, pihaknya diminta untuk menampilkan gaya berpakaian lebih tertutup.
"Saat itu menggunakan mekak dibalut dengan ronce melati tapi tetap geol-geol," ungkapnya.
Eksistensi Lengger saat ini menghadapi sejumlah tantangan. Karena itu, menurut Kepala Bidang Kebudayaan Dinporabudpar Kabupaten Banyumas, Edi Saptono, modifikasi dan inovasi baru dari kesenian-kesenian tradisional adalah upaya untuk membuatnya lebih menarik bagi masyarakat saat ini.
Misalnya, perpaduan tari ebeg dan lengger atau yang disingkat Beger. Ini salah satu contoh bentuk kreatifitas seniman dalam menjaga eksistensi kesenian lengger. Bukan hanya adegannya, ia juga menganggap sah- sah saja terhadap adanya modifikasi busana lengger.
"Lengger berinovasi dalam pakaian tidak apa-apa. Disisi lain mereka menggiatkan lengger disisi lain dia taat dengan agamanya," ucap Edi.
Beratnya Jadi Lengger Lanang
Kehadiran lengger lanang pada kesenian ini juga kontroversial di masyarakat. Sesuai namanya, Lengger Lanang adalah tarian dengan gerak perempuan namun dimainkan oleh laki-laki. Bukan hanya mendapat stigma dari masyarakat, keputusan menjadi penari lengger lanang juga mendapat perlawanan dari keluarga.
Otniel Tasman misalnya, pemuda yang akrab dipanggil Otnel ini merupakan pelaku lengger lanang di Banyumas. Pria kelahiran 25 Januari 1989 itu mengaku cinta dunia tari sejak kecil.
Ia bahkan serius ingin melanjutkan pendidikan kesenian di SMK Negeri 3 Banyumas. Namun keinginannya untuk melanjutkan pendidikan kesenian menuai hambatan dari keluarga yang tidak menyukai dia menari.

Tari-tarian tradisional dianggap tarian yang mengandung mistis dan bertentangan dengan agama Kristen yang mereka anut.
Orang tua Otniel mengarahkannya menempuh Sekolah Menengah Atas (SMA) dari pada mengambil jurusan tari di SMK. Namun Otniel bersikukuh meyakinkan orang tuanya bahwa keputusannya benar dan bisa dipertanggungjawabkan.
“Ada pertentangan dari orang tua pas mau masuk SMKI sekitar 1-2 bulan. Saya bisa membuktikan bahwa menari itu bisa mejadi uang. Akhirnya orang tua bisa menerima itu,” ungkap Otniel.
Tak hanya selesai di SMK, ia membuktikan keseriusannya terhadap dunia tari dengan melanjutkan pendidikan jenjang strata 1 dan 2 di ISI Solo.